Telusur.co.id - Oleh : Ramadhani Akrom
- Di Dunia Politik, Sastra, Lukisan, Bisnis dan Spiritualitas
(I)
Siapakah yang tidak kenal dengan Denny Januar Ali atau lebih populer dengan panggilan Denny JA. Apa yang menjadi menjadi sumber energi batin Denny JA sehingga dia bisa menjalankan peranan yang begitu beragam dan menuai kisah sukses dalam semua peranan itu?
Dia tidak hanya konsultan politik yang baru saja mendapatkan “The Legend Award” karena ikut memenangkan Pilpres lima kali berturut-turut. Tidak hanya itu, dia juga aktif di dunia sastra, selaku penggagas Puisi Esai. Kini komunitas genre puisi itu merambah hingga ke negara-negara ASEAN.
Setiap tahun dengan biaya dari kerajaan di sana diselenggarakan Festival Puisi Esai ASEAN. Denny juga tercatat sebagai sastrawan Indonesia yang kedua setelah Pramudya Ananta Toer yang dicalonkan sebagai penerima Hadiah Nobel Sastra.
Saat ini Denny juga mempopulerkan seni lukis Artificual Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini dia sudah melukis sekitar 300 lukisan AI yang dituangkannya di dalam empat buku. Lukisan ini juga merupakan genre baru dalam dunia melukis.
Dalam dunia usaha, dia juga dikenal sebagai pebisnis yang gigih. Usahanya melebar dari konsultan politik, properti, food dan beverage hingga tambang dan trading cooking oil. Asetnya sudah tumbuh di atas Rp 1 triliun. Ini tentunya mengagumkan untuk seorang yang memulai kiprahnya dari seorang aktivis politik di ruang seminar dan diskusi yang serius.
Dan, ini tidak banyak yang tahu, Denny berkembang sebagai pemikir agama Pasca Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang membawa corak baru dalam pendekatan studi keagamaan. Dia juga memimpin komunitas Esoterika yang mewadai para aktivis lntas iman.
Dia yang mempopulerkan frasa: Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama. Komunitas ini secara bersama-sama merayakan hari raya aneka agama seperti Islam, Kristen-Katolik, Bahai, Konghucu hingga Brama Kumaris.
Pendeknya, dalam diri Denny JA tersimpan kreativitas multi dimensi, multi talenta. Timbul dari mana sumber energi batinnya dalam menjalan peranan dan aktivitas sosial yang beragam itu?
(II)
Yang publik tahu, nama Denny JA sudah sangat terkenal dalam dunia politik Indonesia. Dia tidak menerjunkan diri di kancah politik praktis, melainkan menekunkan diri sebagai seorang peneliti yang sekaligus konsultan politik.
Dia mengkhususkan diri pada survei pemenangan kontentan yang maju bertarung dalam pemilihan, baik pemilihan kepala daerah (Pilkada) Gubernur, Bupayi dan Walikota atau pemilihan Presiden. Harus diakui dia seorang peneliti ulung.
Hampir sebagian besar surveinya di Pilkada tepat. Yang mengagumkan, dia ikut terlibat dalam lima survei Pemilihan Presiden secara langsung di era Reformasi sejak 2004.
Hebatnya, semua calon Presiden yang disebut akan menang ternyata berjaya. Termasuk survei Pilpres 2024, dia menyatakan pasangan Prabowo-Gibran menang, ternyata sekarang terkonfirmasi menang dalam Quick Count, yang nampaknya, pada saat tulisan ini dibuat, tinggal menunggu pengesahan dari KPU.
Lewat lembaga survei dan konsultan politik yang dipimpinnya yaitu Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dia berhasil menjadikan dirinya sebagai orang yang berpengaruh dalam politik Indonesia.
Setiap perhelatan pemilihan politik langsung Denny dan LSI selalu menjadi salah satu rujukan. Tidak heran kalau dia sudah meraih ketenaran nama dan kemapanan finansial dalam kiprahnya sebagai salah seorang tokoh nasional yang bergerak di bidang survei politik.
Barangkali karena kemapanan itu dia tidak lagi melulu membahas survei. Dia merambah ke banyak bidang lain. Dia adalah penggagas dan pendiri komunitas Puisi Esai, puisi yang membahas suatu topik secara panjang lebar, mendalam dan intensif.
Genre Puisi yang memadukan keindahan bahasa dan kelenturan intonasi dengan gaya ilmiah karena menuntut adalah catatan kaki dan daftar pustaka. Beberapa tahun lalu, Puisi Esai ini sempat menjadi kontroversi. Beberapa orang sastrawan menolak dan mengeritisi.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kritik itu melemah dengan sendirinya. Komunitas itu tetap berjalan, malah semakin intens karena makin banyak pegiatnya dan tentu saja makin banyak puisi berbentuk esai yang dibuat.
Kegiatan lain peraih gelar doktor ilmu politik dari Ohio State University itu adalah menjadi Ketuq Umum Satupena yang menghimpun dan mewadahi para penulis buku. Ada lebih dari 1.000 orang dari 38 provinsi yang menjadi anggotanya.
Tujuan dari Satupena adalah memberikan wadah dan kesempatan bagi para penulis yang mempunyai bakat, kesenangan dan kemauan untuk menekuni dunia narasi dan ide yang dituang ke dalam sebuah buku.
Tujuan yang lain, di samping untuk mewadai para penulis agar lebih mudah menuangkan idenya juga untuk memberikan kelapangan ekonomi; suatu hal yang merupakan harapan seluruh penulis, terutama yang belum mapan.
Sejauh yang saya amati, Denny mengaktualisasikan dirinya melalui pikiran dan gagasan yang segar dan orisinil. Orang boleh saja tidak suka atau mengecam alumni Fakultas Hukum UI itu, dan itu sama banyaknya dengan yang senang kepadanya, tetapi sebagian besar mengagumi apa yang sudah diraih dan dihasilkannya.
Harus dikatakan, Denny merupakan seorang tipe ideal (ideal type) tentang seorang yang berjuang dari bawah melawan situasi kekurangan secara ekonomi kemudian menjadi seorang yang mapan dan terkenal.
Tidak hanya itu, banyak teman semasa muda dan menderita sekarang mendapatkan manfaat ekonomi melalui sikap filantropisnya.
(III)
Menurut saya, hal yang kurang disinggung orang terhadap sosok Denny JA adalah sikap dan perkembangan aspek religiusitasnya. Diakui, dia seorang yang banyak teman dan bergaul dengan banyak kalangan. Hampir tidak ada elit nasional yang tidak mengetahui dan kenal siapa sosok Denny. Karena itu menelaah kecenderungan beragamanya merupakan hal yang penting dan memberikan nilai akademis yang layak diketahui oleh banyak orang.
Tidak bisa disangkal lagi dia adalah seorang muslim. Orang tuanya beragama Islam, teman-temannya pun sebagian besar beragama Islam. Di samping menuntut ilmu di UI, dia senang mengikuti kajian dan studi di luar kampus.
Sejauh yang saya ikuti, dia sering terlibat dalam kajian agama Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan aktif dalam kelompok studi yang difasilitasi oleh tokoh modernis Islam Djohan Effendi.
Yang terakhir ini terkenal sejak namanya disebut dalam biografi pemikiran Achmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam yang diterbitkan pertama kali oleh LP3ES pada tahun 1983. Wahib, Djohan dan Dawam Rahardjo adalah tiga mahasiswa UGM di era 1960-an yang merasa resah dengan ‘kemujudan’ pikiran di HMI dan kemudian membuat kelompok studi Limited Grup di bawah asuhan Mukti Ali, Menteri Agama di masa awal Soeharto.
Mereka membiasakan diri untuk berpikiran bebas dan melepaskan diri dari pengaruh politik Islam Natsir dan Masyumi yang dirasakan gagal untuk membuat Islam berjaya.
Beberapa anak muda awal 1980-an, rutin berkunjung ke rumah Djohan, dan membentuk kelompok studi. Karena Djohan tinggal di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, maka wadah mereka itu dinamakan Kelompo Studi Proklamasi (KSP).
Denny pernah menjadi Ketua KSP. Di sanalah dengan beberapa orang teman ,mereka berdiskusi dan bertukar pikiran. Tentu saja dalam aktivitas itu ada benturan-benturan pikiran dan tingkah laku. Semuanya itu berguna untuk mengembangkan dan memperbesar intelektualitas mereka.
Bisa dipahami, seperti Djohan yang merupakan mentor mereka, anak-anak muda yang bergabung dalam KSP cenderung mengakrabi pemikiran Islam yang moderen dan reformis.
Kelompok Reformis Islam itu dipelopori oleh Cak Nur yang kecewa atas peran politik Islam di awal Orde Baru yang kemudian menelorkan pikiran tentang sekularisasi politik bahwa “politik tidak selayaknya dikaitkan dengan agama.”
Agama akan kehilangan dimensi kesucian jika terus dikaitkan dengan politik. Karena itu perlu disosialisasikan: “Islam Yes, Politik Islam No.” Seperti diketahui sekularisasi politik Cak Nur itu menimbulkan kontroversi dan kehebohan yang sampai sekarang masih menyisakan residunya, walau kecil.
Barangkali bisa dikatakan meredupnya politik Islam sekarang merupakan akibat dari dari kampanye Cak Nur yang berhasil.
(IV) Pulang dari Amerika seusai meraih gelar doktor dari Ohio State University, Columbus, Denny membutuhkan beberapa waktu untuk menjadi surveyor politik terkenal. Itu pun didorong oleh situasi politik yang berubah, berupa penerapan pemilihan langsung dalam sistem politik Reformasi yang berbeda dengan era Orde Baru.
Pemilihan Presiden langsung diterapkan pada 2004, sedangkan Pemilihan Kepala Daerah langsung dilakukan setahun setelahnya yaitu 2005. Denny memanfaatkan perubahan politik itu.
Dia langsung menjadi salah seorang tokoh surveyor politik disegani yang tentunya memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar.
Sejalan dengan popularitas yang besar itu, Denny juga mengembangkan kecenderungan religiusitasnya. Secara bahasa kata itu berarti tingkat ketaatan beragama seorang pemeluk atas perintah-perintah agama yang diyakininya.
Sebagaimana diketahui, Denny adalah seorang muslim. Dia sudah beberapa kali melakukan ibadah umroh ke tanah suci Makkah dan Madinah. Maka tidak layak kita meragukan agama yang dipeluk dan dipercayainya.
Kalau boleh dilakukan kategori, agama Denny penuh dengan sikap moderat. Baginya, agama adalah urusan pribadi yang tidak perlu diumbarkan dalam bentuk ketaatan yang dipamerkan.
Moderasi agamanya itu bisa dirunut dari orangtuanya yang bukan pemuka agama, jenjang pendidikannya sepenuhnya sekuler dari SD hingga perguruan tinggi bahwa, sampai sekolah ke Amerika.
Gurunya, Djohan Effendi yang juga modernis bukan tamatan pesantren dan pergaulannya yang dilakukannya dengan sesama Islam moderat. Semua itu ditambah dengan bacaannya yang sepenuhnya tanpa pretensi agama.
Bagi Denny, untuk tetap menjadi aktual, agama harus sesuai atau mengikuti pekembangan ilmu pengetahuan. Dalam buku pendeknya yang diterbitkan pada 2000, Spirituality of Happiness (SOH): Spiritualitas Baru Abad ke-21, dia menyatakan, agama pada mulanya penuh dengan mitos dan takhayul.
Dunia moderen tidak lagi bisa diyakinkan dengan agama seperti itu. Perlu dilakukan penyesuaikan dengan ilmu pengetahuan moderen yang terus berkembang.
Problem zaman kita sekarang, demikian Denny JA, adalah mitologi dan agama sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan era moderen atau era post-moderen. Atau kalau pun mampu, jawaban itu terasa usang, kuno dan tidak lagi sesuai dengan kebutuhan.
Narasi yang dikembangkan terasa out of date dan tidak memberikan solusi atas kebutuhan manusia yang berubah dengan cepat, kadangkala sangat cepat.
Di samping itu, begitu argument dia dalam SOH, agama juga terlalu banyak dan beragam. Menurut data yang disodorkannya (dan itu disebutnya berkali-kali dalam buku tersebut) ada 4.300 agama di dunia ini sekarang di dalam 195 negara dan 6.500 ragam bahasa.
Manusia di bumi ini mayoritas pemeluk dua agama yaitu Kristen dan Islam. Sebanyak sekitar 55 persen manusia merupakan penganut kedua agama itu. Tetapi di situlah masalahnya, walaupun merasa berasal dari satu rumpun yang sama yaitu agama langit (samawi) bersama dengan Yahudi, kedua agama itu tidak pernah akur dan sejalan, baik dalam sejarah maupun keyakinan (dogma).
Perang besar seringkali terjadi baik karena perbedaan kepercayaan, hegemoni politik maupun ambisi perluasan wilayah.
Mengutip Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, Denny menyebutkan, manusia moderen sekarang ini merupakan kelanjutan yang berkesimbangun dari homo sapiens. Dalam 200.000 tahun perjalanan sejarahnya, homo sapiens mengalami evolusi tiga narasi besar yang berhubungan dengan spiritualismenya.
Yaitu Narasi Mitologi, Narasi Agama dan Narasi Ilmu Pengetahuan. Narasi itu muncul karena manusia mencari jawaban atas pengalaman hidup yang mereka alami tetapi berada di luar jangkauan nalar dan pemikirannya. Untuk itu manusia memerlukan Spiritualitas Baru.
Mengapa manusia moderen membutuhkannya? Denny memberikan jawabannya. Era mitologi dan agama telah menyebabkan begitu banyak narasi yang mempengaruhi manusia yang menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.
Mitologi dan agama telah menyebabkan munculnya 4.300 agama dalam 195 negara dan 6.500 ragam bahasa. Semua mengklaim bahwa, mereka membawa kebenaran tunggal dan pasti. Tetapi, dengan jelas terlihat bahwa, semuanya itu tidak bisa didamaikan.
Peperangan, perselisihan dan benturan seringkali terjadi. Ini menyebabkan dunia bergejolak terus-menerus. Kepercayaan dan agama yang terlalu banyak dengan klaim kebenaran tunggal yang bertentangan itulah membuat situasi konflik terus menerus dan melelahkan kemanusiaan.
Denny mencatat, mitologi dan agama pada hakekatnya berkesinambungan hampir sama eksistensinya. Mitos muncul atas ketidakberdayaan manusia melihat fenomena alam yang dirasakan berada di luar akal yang sekaligus membahayakan dan mengancam.
Lalu, dibuatlah narasi tentang dewa-dewa atau alam yang mempunyai kekuatan memaksa dan menghancurkan. Pada periode Mitos itulah manusia berevolusi menyembah batu-batuan, gunung, ular pithon atau buaya dan lain-lain.
Evolusi spiritual manusia selanjutnya adalah Periode Narasi Agama. Dimulai dari Zoroasther sebagai Monotheisme tertua yang dilanjutkan oleh Yudaisme, Kristen dan Islam. Di sinilah manusia menemukan konsep Tuhan yang Serba Maha, yang sangat berkuasa, yang menentukan hitam-putihnya hidup manusia. Tuhan yang garang, bengis, maha menghukum dan mengatur (Authoritarian God). Hingga pakaian perempuan diatur oleh Tuhan.
Untuk kepentingan memperkenalkan Tuhan kepada manusia, maka diperlukan perantara yang dikenal sebagai Nabi atau Rasul. Sejarah mencatat, begitu banyak Nabi dan Rasul.
Anehnya, sumber informasi tentang Nabi dan Rasul hanya satu, yaitu Kitab Suci Yahudi dan Kristen (Perjanjian lama dan Perjanjian Baru). Al-Qur’an yang datang sekitar 600 tahun setelah Kitab Kristen, nampaknya mengulang informasi yang sama. Sayangnya, ketiga agama itu saling berperang dan menumpahkan darah hingga saat ini.
Dunia, katanya, memerlukan spiritualitas baru yang merangkum semua agama itu dalam kasih sayang. Sebuah fakta yang makin memungkinkan menerapkan spiritualitas baru adalah manusia yang tidak berafiliasi pada sebuah agama saat ini jumlahnya sangat besar.
Agama terbesar memang masih dipegang oleh Kristen yang disusul oleh Islam. Tetapi, manusia yang tidak merasa sebagai umat satu agama (Non Affiliated) menduduki posisi ketiga. Jumlah yang sangat besar ini perlu diwadahi agar bisa menjadi tenang dan damai di dalam situasi dunia yang bergolak dan rusuh ini.
Manusia, tambahnya membutuhkan Spiritualitas Baru (New Spirituality). Barang apakah yang ditawarkan Denny JA itu? Dalam narasinya, Denny menyebutkan, Spiritual Baru itu tidak menggantikan peran agama tetapi cuma mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh agama yang banyak itu.
Manusia, kata Denny lagi, masih membutuhkan ketenangan dan kontemplasi. Apapun agamanya, bahkan yang tidak beragama sekali pun, manusia mempunyai tempat di otaknya untuk merenung, dan memaknai sisi transendental.
Secara ilmiah, tempat itu disebut Parietal Cortex, yaitu bagian otak yang bisa memberikan ketenangan pada saat manusia membutuhkan sandaran dalam ketidakberdayaan dan keputusasaan.
Spiritual baru ini, katanya, masih membutuhkan Tuhan sebagai tempat untuk bersandar dan mencari ketenangan jiwa. Bukan Tuhan yang Maha Menghukum dan Maha Menentukan hidup manusia yang bercitra mengerikan dan menakutkan (Authoritarian God).
Yang dibutuhkan adalah Tuhan yang penuh kasih sayang, yang memberikan perlindungan, Maha lembut, pemaaf dan memaklumi kekurangan dan kelemahan manusia (Benevolent God).
Bagaimanakah cara untuk mencapai dan mempraktekkan spiritualitas baru itu? Denny JA menawarkan agar pembacanya menerapkan secara konsistensi dan kontinyu lima tingkah laku baik, yang diringkasnya dalam konsep 3P + 2S, yaitu Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning dan Spiritual Blue Diamond. Yang terakhir dibagi lagi dalam tiga topik, yaitu Golden Rule, Power Giving, dan Oneness.
Harus diakui, Denny banyak mengutip Jalaluddin Rumi (1207-1273) penyair sufi besar Persia yang hidup di Konya, Turki. Seperti Rumi, Denny mengakui bahwa, pada akhirnya harta, pangkat, jabatan tidak membawa kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan itu ada di hati.
Tumbuhkan cinta di hatimu, maka Tuhan akan bersemayam di sana. Kebahagian itu muncul dari diri yang menerapkan Spiritualitas Baru dengan prinsip 3P + 2 S.
Sebagai bentuk konsistensi dengan prinsip agama harus sesuai dengan ilmu pengetahuan, akhir-akhir ini dalam banyak tulisan Denny menyitir kehebatan Artificial Intelligence (AI).
Arti harfiyahnya adalah kecerdasan buatan yang merujuk pada kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal benar, untuk belajar dari data tersebut dan menggunakan pembelajarannya guna mencapai dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel.
Ketika memberikan pidato dalam acara Tadarus Puisi Ramadan di Jakarta, 15 Maret 2024, Denny menyatakan kekagumannya kepada AI tersebut. Dengan AI, agama bisa dijelaskan dengan lebih baik. Di Jerman, Arab Saudi, dan India, yang berkaitan dengan agama Kristen, Islam dan Budha, orang bisa mendapat informasi lebih akurat dan jelas tentang agamanya sendiri. Tidak perlu pemuka agama yang menjelaskan.
Cukup membuka komputer dan menghubungi AI. Apa saja informasi yang dibutuhkan tentang agama bisa diperoleh dengan lebih baik.
Itulah spiritulitas Denny JA. Seorang muslim yang mengembangkan sikap agama yang penuh dengan cinta kasih. Dia adalah pengikut Rumi yang sebagai seorang muslim mengembangkan rasa cinta dalam agama. Sebagai pengagum Rumi, dia sudah datang ke Turki menelusuri jejak sufi besar yang sangat terkenal itu.
“Rumi adalah fenomena yang menarik dimana setelah 800 tahun kematiannya, dia tetap digemari dan diikuti oleh dunia, terutama di Barat. Sebuah hal yang mencengangkan, di Amerika di mana Islamophobia berkembang kuat, berdasarkan penilitian, buku Rumi merupakan yang paling banyak dibaca orang. Itu karena Rumi mengembangkan pikiran agama yang cinta damai, bukan yang penuh kebencian dan kekerasan,” demikian Denny JA.
(V)
Sebagai penutup, perlu juga disinggung bahwa, energi batin Denny JA didapatinya melalui kebiasaan berzikir yang rutin dilakukannya. Kebiasaan itu sudah mentradisi dalam dirinya.
Dia menyatakan hal itu ketika penulis bertanya kepadanya. Kapan dan di manapun, dia selalu menyempatkan diri untuk berzikir. Dengan berzikir, katanya, dia membuka batinnya untuk menerima energi semesta dari Yang Maha Tinggi.
Uniknya lagi, dia tidak mengikuti pola zikir secara konvensional. Dia cukup mengheningkan diri dan membayangkan energi semesta turun dari langit membanjiri batinnya. Diakuinya, Denny kadang seringkali menangis dalam menikmati suasana zikirnya itu. Itulah sisi unik religiusitas Denny yang diakuinya menjadi sumber kekuatan utama bagi batinnya.
*Penulis adalah Pengamat Sosial Keagamaan, mantan Wartawan yang tinggal di Depok.