telusur.co.id -Oleh: Aisyah Najla Kamila dan Batrisyia Halwa Nugroho, mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia.
Perubahan Regulasi
Setelah lama dibayangi ketidakpastian, pasar kripto di Indonesia akhirnya mendapat titik terang. Per 1 Agustus 2025, pajak atas aset kripto resmi berubah total. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, melalui PMK 50/2025 yang terbit setelah pengawasan aset kripto berpindah dari Bappebti ke OJK menetapkan bahwa kripto tidak lagi dianggap sebagai BKP, melainkan sebagai aset digital keuangan yang disamakan atas penyerahannya dengan surat berharga. Dengan perubahan definisi ini, penyerahan aset kripto tidak lagi dikenakan PPN, berbeda dengan aturan lama di PMK 81/2024 yang memungut PPN 0,12% atau 0,24%.
Meskipun bebas PPN, PPh 22 Final tetap berjalan dengan skema baru. Penjualan aset kripto melalui PPMSE dalam negeri dikenai tarif sebesar 0,21%, sedangkan transaksi melalui PPMSE luar negeri dikenai tarif 1%. Pembagian ini menggantikan mekanisme lama yang membedakan antara transaksi di platform Bappebti dan non-Bappebti.
Namun perlu dipahami bahwa pembebasan PPN ini hanya berlaku untuk penyerahan aset kripto. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf a dan b, jasa penyediaan sarana elektronik yang memfasilitasi perdagangan aset kripto serta jasa verifikasi transaksi oleh penambang tetap digolongkan sebagai JKP dan tidak termasuk dalam pembebasan. Layanan PPMSE seperti marketplace jual beli kripto, penukaran antar kripto, hingga dompet elektronik tetap dikenai PPN 12% atas komisi (11/12 × nilai penggantian). Sementara itu, jasa verifikasi oleh penambang kripto dikenai tarif PPN sebesar 20% × (11/12 × tarif PPN 12%) × nilai aset kripto yang diterima, termasuk block reward, sehingga seluruh aktivitas jasa dalam ekosistem kripto tetap berada dalam rezim PPN.
Dampak Positif
Transformasi kebijakan ini membawa sejumlah dampak positif bagi pelaku pasar kripto di Indonesia, terutama melalui pembebasan PPN atas transaksi aset kripto yang sebelumnya menimbulkan ketidakpastian dan menambah beban biaya. Dengan disamakannya kripto sebagai surat berharga, aktivitas jual beli menjadi lebih efisien karena tidak lagi dikenakan PPN. Selain itu, pengenaan PPh Final sebesar 0,21% yang dipotong langsung oleh platform perdagangan turut menyederhanakan kewajiban perpajakan, sehingga penjual tidak perlu menghitung pajak atas keuntungan secara mandiri. Secara keseluruhan, kebijakan ini memberikan kepastian dan kemudahan administrasi, serta menjadikan perdagangan kripto di Indonesia lebih menarik bagi trader dan investor.
Dampak terhadap Pasar Kripto
Untuk meningkatkan daya saing ekosistem kripto di tingkat regional dan global, OJK berupaya menciptakan level playing field yang sehat serta memberikan dukungan melalui penyesuaian pungutan tahunan bagi pelaku usaha di sektor aset keuangan digital. Langkah ini menjadi penting setelah kripto diakui sebagai surat berharga, sehingga bank dan lembaga keuangan dapat menawarkan layanan kustodian dan produk investasi kripto dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi.
Namun, aturan kepatuhan yang lebih ketat berisiko membebani perusahaan kecil dan membuat pasar dikuasai oleh beberapa exchange besar, sehingga inovasi dapat melambat. Kenaikan pajak pada layanan pendukung juga dapat menekan volume transaksi, meskipun pengakuan kripto sebagai instrumen keuangan tetap membuka peluang integrasi dengan fintech, termasuk dalam pengembangan sistem pembayaran digital dan potensi CBDC oleh Bank Indonesia.
Peluang, Tantangan, dan Risiko
Dapat disimpulkan bahwa perubahan regulasi melalui PMK 50/2025 menandai fase baru bagi pasar kripto Indonesia dengan memberikan kejelasan hukum dan penyederhanaan kewajiban perpajakan. Secara keseluruhan, penghapusan PPN atas penyerahan aset kripto dapat memberikan keuntungan bagi trader dan exchange karena proses administrasi menjadi lebih sederhana dan efisien.
Namun, pengenaan PPN atas jasa pendukung sebesar 12% dapat menambah biaya operasional yang berpotensi melemahkan daya saing di pasar global. Pelaku usaha terkait perlu melakukan adaptasi terhadap regulasi tersebut, misalnya melalui pengembangan sistem teknologi dalam rangka penghitungan pajak secara otomatis, pelaporan pajak ke DJP, dan pencatatan transaksi untuk pemeriksaan pajak. Platform juga perlu mengedukasi pengguna tentang dampak pajak, seperti biaya transaksi yang lebih tinggi untuk menjaga kepercayaan dan retensi pelanggan.



