Koperasi Desa Merah Putih: Sintesa “Mati Segan Hidup Tak Mau” Koperasi Indonesia - Telusur

Koperasi Desa Merah Putih: Sintesa “Mati Segan Hidup Tak Mau” Koperasi Indonesia

Dosen Universitas Jember, Choirul Hudha

telusur.co.idOleh : Choirul Hudha
 
Koperasi saat ini sudah 78 tahun berdiri, Awal ide koperasi muncul melalui kongres yang diselenggarakan di Tasikmalaya pada tahun 1947, digagas oleh para tokoh pergerakan yang kemudian melahirkan konsep penguatan ekonomi melalui koperasi. Pada tahun 2024 Jumlah koperasi di Indonesia lebih dari 127 ribu unit, jumlah yang begitu besar dimana didalamnya terlibat sekitar 14,5 juta pelaku berperan aktif (BPS, 2024).

Presiden Prabowo Subianto akan membentuk 70.000 Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia. Kebijakan ini adalah upaya strategis memutus rantai kemiskinan melalui program swasembada pangan, bahkan pemerintah mendukung program ini dengan mengalokasikan dana 3-5 miliar per koperasi. Jumlah koperasi yang begitu besar maka manajerialnya membutuhkan dana yang besar pula, tidak tanggung dana yang akan digelontorkan melibatkan Danantara dan Bank Negara (HIMBARA) tentu ini menjadi menarik dalam perspektif kebijakan efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah.

Jati Diri Koperasi Indonesia

Koperasi didirikan sebagai bentuk ijtihad politik dan ekonomi dalam merespons ketimpangan sistem ekonomi konvensional yang kerap tidak berpihak kepada rakyat kecil. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (1), yang menegaskan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan," menempatkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional. Pengelolaan dan kepemilikan koperasi dilakukan secara demokratis, sukarela dan memiliki keberpihakan kepada anggota, bukan hanya akumulasi modal semata. 

Selain itu, Undang Undang No. 25 Tahun 1992 mengamanatkan kesejahteraan semua anggotanya, bukan hanya mencari keuntungan semata. Karakteristik inilah yang harus terus dibangun, diperkuat, dan disosialisasikan ditengah tantangan apatisme masyarakat dan stigma negatif terhadap koperasi.

​Perkembangan di era dinamis dan disrupsi saat ini, nilai-nilai dan semangat gotong royong pada koperasi mulai luntur bahkan komersialisasi menjadi praktik yang sangat masif dilakukan. 

Citra koperasi menjadi hancur ketika hanya digunakan sebagai kedok penipuan, pencucian uang (money laundering) bahkan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, mulai dari koperasi yang asetnya puluhan juta hingga koperasi yang asetnya mencapai triliunan rupiah, mulai dari pelajar hingga kaum yang terpelajar menjadi korban koperasi, hal ini membuktikan lemahnya pengawasan koperasi dalam hal ini oknum tertentu dengan sangat leluasa menjadikan koperasi sebagai alat untuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok dengan mengorbankan anggota koperasi. 

Oleh karena itu menjaga dan menguatkan jati diri koperasi merupakan tugas kolektif semua pemangku kepentingan baik anggota, pengurus, masyarakat dan pemerintah.

Harmonisasi kebijakan terkait bagaimana melakukan manajerial koperasi adalah dengan menjunjung nilai-nilai solidaritas, berkeadilan dan demokratis. Praktiknya dalam koperasi nilai kejujuran, transparansi, tanggung jawab moral maupun sosial penting bagaimana kedaulatan sepenuhnya ada di tangan anggota koperasi yaitu dari, oleh dan untuk anggota. 

Nilai dan praktik itulah merupakan landasan pilar pembangunan nasional yang pro poor, pro growth, pro environment dan pro job. Kembalinya koperasi pada nilai, prinsip dan tujuannya yang hakiki dapat menjadi kekuatan transformasi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

Tumpang Tindih Regulasi Koperasi

​Dinamika perkembangan koperasi tidak lepas dari hambatan regulative salah satunya tumpang tindihnya peraturan koperasi, baik secara vertikal (antara peraturan pusat dan daerah) maupun horizontal (antara sektor dan lembaga berbeda). 

Peraturan tumpang tindih yang berlarut-larut akan menimbulkan ketidakpastian hukum, disharmonisasi regulasi, dan melemahkan jati diri koperasi, sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa dalam menjalankan fungsinya seperti halnya koperasi yang bergerak pada sektor simpan pinjam, sektor pertanian, perikanan dan perumahan harus tunduk pada regulasi sektoral yang dikeluarkan kementerian atau lembaga teknis terkait.

​Disharmoni peraturan pusat dengan daerah terlihat dalam standar pembentukan koperasi dimana pemerintah pusat menetapkan standar tertentu yang diikuti kemudian oleh pemerintah daerah dengan menetapkan persyaratan tambahan yang tidak seragam antar wilayah. 

Misalnya, salah satunya terkait dengan peraturan mengenai retribusi atau perizinan koperasi yang bertentangan dengan semangat pemberdayaan yang sudah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat, bahkan baru-baru ini juga muncul antara kementerian koperasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan BI mengenai regulasi koperasi simpan pinjam, koperasi sektor pertanian dan perikanan terutama terkait pengawasan, pembiayaan dan perlindungan konsumen. Ketidaksingkronan lainnya terkait dengan UU sectoral seperti UU perbankan, UU Lembaga Keuangan Mikro (LKM), UU Perlindungan Konsumen yang belum sepenuhnya mengakomodasi entitas koperasi. 

Tumpang tindih aturan yang terjadi akan menimbulkan masalah serius dan luas seperti kepastian hukum dan iklim usaha koperasi yang semakin tidak kondusif, biaya kepatutan yang tinggi, kesulitan pembinaan dan pengawasan, penurunan kepercayaan publik serta perlakuan tidak adil terhadap koperasi.

​Tumpang tindih aturan tersebut bukan hanya sekedar masalah teknis, melainkan cerminan krisis paradigma dalam memandang bagaimana koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat. Oleh karena itu, pembenahan koperasi harus segera dilakukan secara holistik di saat posisi koperasi terjepit antara idealisme kelembagaan dan realitas birokrasi yang kaku. 

Pembenahan regulasi koperasi merupakan langkah krusial dalam mengembalikan koperasi pada khittahnya dimana menjadi alat perjuangan ekonomi yang adil, inklusif dan demokratis. Dengan demikian koperasi dapat tampil sebagai solusi nyata bagi ekonomi kerakyatan ditengah dinamika global yang terus berubah cepat.

Pentingnya Literasi Koperasi

​Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap koperasi menjadi bukti bahwa pengetahuan dan kepercayaan pada koperasi masyarakat masih rendah, survei Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI, 2022) hanya sekitar 6% generasi Z yang menjadi anggota koperasi. 

Pengetahuan mengenai koperasi penting ditengah dominasi ekonomi kapitalistik, koperasi sering dipandang sebelah mata karena dianggap tidak mampu bersaing dengan perusahaan komersial, akibatnya koperasi sering tidak dipahami secara utuh atau bahkan disalahartikan.

​Rendahnya pemahaman terkait perannya sebagai pengambil keputusan dalam koperasi merupakan wujud ketidakpedulian karena selama ini yang tampak adalah sebagai “penyimpan dana”. Keterlibatan dan kontrol manajerial koperasi yang masih minim mengakibatkan tidak sedikit koperasi menghadapi masalah manipulasi dan fraud. Faktor lain seperti rendahnya manajerial serta lemahnya akuntabilitas dan transparansi. 

Selain itu masih banyak anggota mudah tertipu dengan janji imbal hasil tinggi, ditambah regulasi yang belum seutuhnya dipahami serta inovasi dalam menghadapi tantangan kedepan yang mengakibatkan koperasi belum dapat memberikan perubahan berpikir mendalam mengenai koperasi.

Tantangan, Strategi dan Implikasi

​Penggunaan dana desa dalam pembentukan koperasi desa merah putih sangat rentan tidak optimal, karena suntikan dana pembentukannya diambil dari hutang yang konsekuensinya adalah gagal bayar. Menilik pernyataan Menteri Keuangan bahwa dana desa akan menjadi jaminan jika koperasi desa merah putih mengalami gagal bayar yaitu dengan membayarkan cicilan bunga 6%. 

Ini menjadi peringatan bahwa, diperlukan kehati-hatian dalam pengurusan koperasi untuk menjalankan usahanya serta memiliki prospek finansial yang baik dalam jangka panjang. Kurangnya kapabilitas sumber daya manusia (SDM), infrastruktur dan logistik, integrasi dan jaringan distribusi serta memutus rantai peran informal harus menjadi perhatian utama pembentukan koperasi desa merah putih.

​Instrumen kebijakan untuk mendukung koperasi desa merah putih melalui kebijakan struktural maupun kultural agar model bisnis berjalan dengan efektif. Dukungan sarana prasarana terkait rantai pasok koperasi akan menciptakan ekosistem koperasi dalam mensuplai kebutuhan koperasi. 

Perhitungan yang cermat dan hati-hati terkait biaya dan maintenance perlu dilakukan, koordinasi intensif lintas kewenangan baik antara desa, perbankan dan kementerian serta bagaimana memutus rantai peran informal yang merugikan masyarakat seperti pinjol, rentenir maupun tengkulak.

​Tantangan yang begitu rumit memaksa pemerintah harus berpikir keras dalam memaksimalkan peran koperasi dengan cara dukungan kelembagaan dan regulasi yang progresif. Harmonisasi regulasi formal koperasi, desa/kelurahan, maupun kementerian melalui pendampingan dan edukasi. 

Akses pembiayaan koperasi merupakan kunci utama mengukur bagaimana potensi desa membentuk koperasi baru, revitalisasi koperasi yang sudah ada bahkan transformasi gapoktan menjadi koperasi. Hal lainnya terkait penyederhanaan rantai pasok koperasi mungkin kedepan menjadi saluran utama distribusi pupuk, LPG, bantuan sosial bahkan pangan bersubsidi.

​Implikasi pembentukan koperasi baik secara ekonomi, sosial, politik dan keberlanjutan diharapkan menjadi peran penting dalam pemberdayaan masyarakat secara optimal, artinya negara hadir melalui koperasi untuk memberikan program progresif. 

Ekonomi lokal akan menggeliat dimana akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga akan mendorong daya beli masyarakat yang semakin besar. 

Selain itu akan tercipta sebuah ekosistem baru koperasi dimana efisiensi dapat dilakukan, serta harga akan menjadi stabil dan terkendali.
​Implikasi sosial dan politik terjadi melalui penguatan solidaritas kelembagaan sosial, dimana dalam pengambilan keputusan koperasi harus dilakukan secara kolektif dan gotong royong. Pengambilan keputusan yang dilakukan secara transparan dan partisipatif pada akhirnya akan mendorong pemerataan distribusi sumber daya dan kesempatan ekonomi. 

Selain itu, koperasi desa merah putih akan meperkuat posisi politik lokal (desa) dimana tata kelolanya akan melibatkan masyarakat lokal sebagai wujud ekonomi kerakyatan, dimana dominasi kapital besar harus dibatasi agar kepentingan lokal tetap terjaga. Kemandirian dan kedaulatan pengelolaan sumber daya desa akan tercipta atas keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan melalui koperasi desa. 

Adapun keberlanjutannya adalah mendorong iklim usaha yang ramah lingkungan seperti pertanian organik, pengelolaan limbah yang sesuai bahkan energi terbarukan dimana hal tersebut akan meningkatkan pentingnya kesadaran dalam pengelolaan koperasi dengan melibatkan sumber daya alam yang harus dikelola secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, perencanaan yang kuat didukung regulasi yang harmoni, pendanaan serta pengawasan pro aktif koperasi desa merah putih berpotensi menjadi pengubah fundamental ekonomi Indonesia. 

Implementasi yang dilakukan dengan mengedepankan budaya tata kelola yang baik dan kehati-hatian menjadi faktor penentu utama, apakah program nasional koperasi desa merah putih dapat memberikan kontribusi positif dan keuntungan bagi rakyat atau sebaliknya justru hanya menjadi program besar dimana hanya digunakan sebagai alat kepentingan untuk keuntungan pihak tertentu tanpa dampak nyata bagi rakyat bahkan pada akhirnya akan menjadi beban negara.

*Penulis adalah Dosen Universitas Jember (UNEJ) dan Peneliti RG Social Economic Education (SEE).


Tinggalkan Komentar