telusur.co.id - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan pentingnya penguatan kapasitas aparat penegak hukum dan kesadaran masyarakat secara konsisten untuk menciptakan perlindungan menyeluruh bagi warga negara dari tindak kekerasan, khususnya berbasis gender, terhadap perempuan dan anak.
Hal itu disampaikan Lestari menanggapi masih rendahnya tingkat penyelesaian kasus kekerasan yang dilaporkan. Data Direktorat TPPA–TPPO Bareskrim Polri mencatat 36.148 kasus kekerasan berbasis gender, perempuan, dan anak sepanjang tahun 2025, namun hanya 12,8% kasus yang berhasil diselesaikan.
“Rendahnya angka penyelesaian perkara ini harus menjadi alarm serius. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal keberpihakan terhadap korban,” tegas politisi Partai NasDem yang akrab disapa Rerie itu dalam keterangan tertulis, Selasa (23/9).
Menurutnya, akar persoalan seperti budaya patriarki, tekanan sosial, rendahnya sensitivitas aparat, hingga proses hukum yang berbelit-belit harus segera diurai dan diatasi.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI menekankan bahwa penguatan sistem tidak bisa hanya bergantung pada penegak hukum. Perlu ada pendekatan komprehensif, mulai dari pencegahan, perlindungan, pendampingan korban, hingga perubahan budaya yang memihak pada korban.
“Komitmen lintas sektor sangat diperlukan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat harus bergerak bersama,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, namun implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan.
Di akhir pernyataannya, Rerie menegaskan bahwa keberpihakan nyata terhadap korban, penguatan sistem, dan perubahan budaya adalah tiga kunci utama untuk menjamin keadilan yang inklusif.
“Setiap kasus kekerasan bukan hanya harus dicatat, tapi juga harus dituntaskan,” pungkasnya.