NasDem Apresiasi Putusan Pembatalan Badan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada oleh MK - Telusur

NasDem Apresiasi Putusan Pembatalan Badan Peradilan Khusus Sengketa Pilkada oleh MK

Partai NasDem (FOTO : IST)

telusur.co.id - Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengabulkan gugatan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai Badan Peradilan Khusus.

"Kita harus memberikan apresiasi, menghormati dan menjalankan Putusan MK," ungkap Atang Irawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/09/2022).

Diketahui, Perludem menggugat Pasal 157 (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pilgub, Bupati, Walikota menjadi UU. Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan Perludem untuk seluruhnya. 

Pada prinsipnya MK menyatakan Pasal 157 ayat (1) dan (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan pasal 157 ayat (3) menyataan frase “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dinyatakan bertetangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga penyelesaian perselisihan hasil pemilu merupakan kewenangan MK, tidak lagi kewenangan Badan Peradilan Khusus.

Menurut Atang, karena putusan MK bersifat final and binding dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan MK karena sifat pengadilan MK adalah pertama dan terakhir. "Tidak ada upaya hukum lain. Sudah final," katanya.

Namun begitu, dalam wacana akademik, keputusan MK ini terdapat diskursus di publik, meskipun tidak dapat mempengaruhi isi putusan dari MK.

Diskursusnya yakni MK telah meninjau ulang putusannya sendiri yaitu No 97/PUU-XI/2013 yang pada prinsipnya adanya suatu pembedaan antara rezim Pemilihan Umum dan Pilkada, sehingga, seharusnya tidak ditangai oleh MK. Namun, MK dalam putusannya mengubah penafsiran yang disebabkan oleh praktik berhukum di Indonesia, dengan melakukan penyamaan unsur (analogi) antara pemilu dan pilkada, yaitu penyelenggara, prinsip pemilu, peserta pemilu ataupun pemilih serta pembiayaan pemilu.

Menurut Atang, Analogi (argumentum peranalogi) seyogyanya dipergunakan apabila tidak ditemukan norma dalam peraturan perundang-undangan/peraturannya tidak ada, terjadi kekosongan hukum (recht vacuum) termasuk kekosongan undang-undang (wet vacuum). Sementara terkait dengan Lembaga penyelesaian perselisihan hasil pilkada sudah jelas diatur yaitu diperiksa oleh Badan Peradilan Khusus. 

Atang juga mengatakan ada perbedaan yang cukup signifikan antara Pemilu dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 tidak menyebutkan pilkada bagian dari pemilu, dan makna pemilu dalam pasal tersebut dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Namun pilkada dalam Pasal 18 ayat (4) pilkada dilaksanakan secara demokratis, artinya tidak harus secara langsung melainkan juga dapat dipilih melalui DPRD, karena makna demokratis bersifat alternatif.

"Apakah kewenangan MK secara permanen memeriksa dan memutus sengketa perselisihan hasil pilkada, dapat diberlakukan juga jika dikemudian hari pilkada dilaksanakan secara tidak langsung atau dipilih melalui perwakilan atau DPRD?"

Menurut Atang memang benar bahwa Badan Peradilan Khusus harus dibentuk sebelum dilaksanakannya pemilihan serentak secara nasional, namun seharusnya masih ada waktu sepanjang sebelum ditetapkannya dan/atau dimulainya jadwal pelaksanaan pilkada, sehingga dalam putusan MK dapat saja dinyatakan inkonstitusional bersyarat (yang sudah menjadi kelajiman dalam putusan MK) sehingga syarat yang dimaksud adalah DPR, Presiden dan DPD harus segera menetapkan UU tentang Badan Peradilan Khusus. 

Dalam pandangan Atang apabila Badan Peradilan Khusus tersebut belum terbentuk sebagaimana dipersyaratkan MK, baru kemudian MK masih dapat melaksanakan wewenang tersebut sampai dibentuknya badan peradilan tersebut atau secara permanen menjadi kewenangan MK sebagaimana dalam putusannya.

"Risikonya sangat besar jika memang tidak segera dibentuk Badan Peradian Khusus, maka skema ellectoral justice dalam pilkada akan kehilangan legitimasi, karena MK hanya mendapat kewenangan tambahan yang bersifat sementara dari Pasal 24C (ayat 1), sampai terbentuknya Badan Peradilan Khusus hingga sebelum pelaksnaaan pilkada nasional," tegas Atang. 

Badan Peradilan Khusus yang dimaksud oleh UU Pilkada sesungguhnya tidak menjelaskan ada di bawah MA atau MK, namun hal demikian seyognyanya harus memperhatikan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman diatur dalam UU”.

Maka menurut Atang dapat saja di bawah MK, karena MK dan MA merupakan pelaku kekuasaan kehakiman, namun seyogyanya penegasan tersebut ditegaskan dalam UU tentang badan peradilan khusus, sehingga pergeseran kewenangan tersebut dilaksanakan dalam skema politik legislasi oleh positif legislation (DPR, Presiden dan DPD).

"UU Pilkada lahir dari rahimnya Perppu, artinya diusulkan oleh Presiden, sehingga seyogyanya akan lebih elok jika Presiden sebagai Lembaga pengusul, mengusulkan RUU tentang Pembentukan Badan Peradilan Khusus tersebut," ujar Atang.

Sehingga marwah politik legislasi dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konstitusi. Apalagi yang disepakati oleh positif legislation adalah tidak akan mengubah UU Pemilu dan Pilkada bukan berarti termasuk tidak akan menjalankan UU dalam rangka membentuk UU yang didelegasikannya.(fie) 


Tinggalkan Komentar