Paradoks Kebebasan - Telusur

Paradoks Kebebasan

Ilustrasi Kompasiana

ALANGKAH ngeriya hidup dibayangi ketakutan. Bukan karena hantu, genderuwo, pocong, kuntilannak, atau mahluk astral lain yang diceritakan saat masih kecil sehingga menjadi bahan ngerumpi kala usia bertambah, tapi takut akan manusia. Manusia yang sedang bertahta.

Manusia yang sedang di kekuasaan, mempunyai daya upaya untuk mengubah suatu keadaban. Entah menjadi baik atau jelek. Manusia dikekuasaan juga mampu memaksa orang untuk mengatakan bahwa kucing adalah anjing, bahwa tikus bukan binatang pengerat. Jika itu terjadi, katakan selamat pergi kebebasan, selamat datang ketololan.

Dalam Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer menulis: “Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia….”

Ketakutan ini bisa berakibat pada penderitaan sistem. Bahasa kilse-nya, bagaimana masa depan anak-cucu-cicit? apakah masih menghirup udara bebas atau kembali pada kekangan dasawarsa? Apakah bisa melawan penderitaan yang dibuat manusia itu? ya, kebebasan lawannya.

Tanpa kebebasan, hanya perlawanan bisik-bisik tetangga lah yang terjadi. Bukan perlawanan sehormat-hormatnya. Bukan perlawanan pada perubahan yang di cita-citakan. Yang ada, hanya bising di media sosial. Imbasnya, seluruh jagat buzzer bayaran menyerang keluarga.

Ada udara segar yang ditiupkan oleh Presiden Jokowi saat memberikan sambutan secara virtual dalam peluncuran laporan tahun Ombudsman RI:"…Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Presiden.

Reaksi publik atas ucapan Presiden jangan tidak ditanya lagi. Jauh asap dari api. Api membakar hutan, asapnya menyelimuti negeri tetangga. Alias, tidak sesuai dengan kenyataan/fakta dilapangan.

Semua pasti bisa mengamati. Yang jelas, sel tahanan, selalu terisi. Baik perkara, maling ecek-ecek, seperti ayam, buah-buahan, sampai maling kelas Jumbo: Korupsi gede-gedean.

Tentu, kamar tahanan kasus terakhir, mewah, tak di pelonco oleh narapidana senior. Bila perlu, bisa mengendalikan dunia luar.

Bagaiman dengan para aktivis yang juga mewarnai terali besi?. tergantung sreg-nya kekuasaan. Bila bacotnya dianggap membongkar aib kekuasaan, terowong gelap siap menyambut mereka. Itulah hadiah bagi yang berani mengkritik kekuasaan.

Kenapa kebebasan harus dikekang? mungkin selagi berkuasa, butuh pengendalian atas semua hal. Bukan cuma mengendalikan manusia, bila perlu, arah terbang nyamuk pun harus dikendalikan. Tidak boleh seenaknya  nyamuk berkeliaran. Karena, nyamuk berpotensi menggangu iklim udara investasi.

Kebisingan nyamuk tanpa kendali, bisa membuat calon investor berpikir ulang, mau menaruh uang di sebuah negara peminjam. Meski, menaruhkan uang bukan gratisan seperti vaksin Covid-19. Tetap bayar: Utang namanya.

Apakah saluran resmi sudah bebas menyampaikan apapun yang dianggap janggal, seperti harapan pembentukannya? tentu nyamuknya lebih banyak lagi

Lembaga Dewan Perwakilan, misalnya, kerap menjadi sasaran kritik masyarakat. Partai yang menikmati pundi-pundi kekuasan, suara kadernya di parlemen, harus seirama di rapat, tak boleh ada suara sumbang. Bagi yang mengatasnamakan rakyat, kebetulan tidak diajak masuk kekuasaan alias jadi oposisi, ada sistem sendiri untuk mematikan haknya suaranya. Ya, kuasa mikrofon. Sekencang apapun suara yang diteriakkan memprotes sebuah kebijakan, akan selesai bila mikrofon di mute-kan.

Bagaimana dengan masyarakat yang mengontrol sebuah kebijakan. Cara terampuhnya, kirim ke prodeo. Bila kritik itu konstruktif, tapi menganggu tidur malam penguasa dan kolega, alamat si pengkritik siap-siap dijemput. Makan dan tidur gratis di tahanan.

Yang mengkritik pun tidak terlepas dari kepentingan. Entah itu benar-benar menyuarakan, apa yang dia lihat, pelajari, dan tanggung jawab sebagai intelektual. Ada juga dibuang oleh kekuasaan, akhirnya mengkritik sejadi-jadinya. Diberi jatah kekuaasan lagi mungkin diam.

Terlepas apapun, kritik tetap lah kritik. Kebebasan mengkritik, tentu bukan personal yang disasar, tapi pada sebuah kebijakan yang menganggu masa depan. Karena, kekuasaan merupakan pekerja outsorcing lima tahunan, dan rakyat adalah bos-nya, pemberi gaji. Jadi, boleh lah, apa-apa yang dibuat, dikontrol oleh pemberi gaji: rakyat. Tujuannya untuk bersama.

Negara tidak boleh diatur menurut selera kekuasaan, tapi harus berlandaskan kesepakatan bersama yang dituang dalam cita-cita luhur bangsa. Soal tafsirannya, masing-masing punya hak. Tidak boleh dimonopoli.

Begitu lah perjalan kebabasan paradoks yang diperjuangkan puluhan tahun lalu oleh orang-orang yang kini mungkin banyak di kekuasaan.

Apabila di bawah, selalu menjaga tumbuh baiknya rumput-rumput keadaban. Akan tetap, jika kekuasaan diperoleh, saat berjalan pun lupa menegur orang-orang di kiri-kanan. Mudah-mudahan tidak masuk atau terperosong pada lubang yang dibuatnya saat berkuasa.

Bersyukurnya, masyarakat kita bukan seperti apa yang ditulis oleh novelis Cekoslowakia, Milan Kundera, dalam The Book of Laugher and Forgetting:…… “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa!.....”

*) Penulis adalah Tio Pirnando, kerani di telusur.co.id

 

 

 

 


Tinggalkan Komentar