Partai Ummat Kecam Dugaan Menteri Terlibat Bisnis Tes PCR - Telusur

Partai Ummat Kecam Dugaan Menteri Terlibat Bisnis Tes PCR

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi. Foto : partai ummat

telusur.co.id - Partai Ummat mengecam pejabat yang disebut terlibat dalam bisnis tes PCR di masa pandemi karena telah melanggar etika, kepatutan, dan keadaban publik yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sebuah negara demokrasi modern yang beradab. 

“Kapitalisasi bencana di masa pandemi sungguh tak bisa diterima oleh akal sehat dan adab kita sebagai sebuah bangsa. Pertama, karena ini mengandung unsur kezaliman di dalamnya. Kedua, lebih-lebih bila dilakukan oleh pejabat publik, jelas ini berlipat kali dosanya,“ ujar Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi dalam keterangannya, Rabu.

Ridho mengatakan terdapat konflik kepentingan yang besar bila para pejabat publik ikut berbisnis tes PCR karena mereka adalah pembuat regulasi sekaligus. Itu sebabnya, tambah Ridho, kecurigaan publik bahwa peraturan yang dibuat tujuannya untuk mengeruk keuntungan bagi perusahaan mereka menjadi masuk akal dan mendapatkan pembenaran.

Ada menteri dalam kabinet Jokowi dan beberapa tokoh yang dekat dengan kekuasaan disebut media terlibat dalam bisnis tes PCR melalui perusahaan yang mereka dirikan baik secara langsung ataupun tidak. 

Indikasi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan yang potensial dilakukan oleh menteri, lanjut Ridho, adalah dengan munculnya kebijakan mengenai penanganan pandemi, khususnya tes PCR, yang terus berubah, inkonsisten, dan dibuat asal-asalan.

“Penentuan harga tes PCR terus berubah yang semula sangat mahal, tetapi karena besarnya kritik publik lalu harga diturunkan. Dan sekarang kita dikejutkan lagi ternyata tes PCR naik pesawat di Pulau Jawa dan Bali tidak diwajibkan, cukup pakai tes antigen. Kebijakan ini sangat berbau kepentingan oligarki,“ kata Ridho.

Partai Ummat menemukan harga tes PCR sebelumnya sangat besar, mulai dari harga tidak resmi mencapai Rp 2.000.000. 

Pada 5 Oktober 2020 Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3713/2020 mematok harga tes PCR sebesar Rp 900.000.

Pada 16 Agustus 2021 harga turun menjadi Rp 495.000 (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp 525.000 (luar Pulau Jawa dan Bali) yang tertuang dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/1/2845/2021.

Terakhir, pada 27 Oktober 2021 harga kembali turun menjadi Rp 275.000 (Pulau Jawa dan Bali) dan Rp 300.000 (luar Pulau Jawa dan Bali) yang termuat dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/1/3843/2021.

Dengan biaya tes PCR sebesar Rp 1.500.000 pada awal pandemi, keuntungan diperkirakan bisa mencapai Rp 900.000 per tes. Sekarang setelah diturunkan menjadi Rp 275.000 untuk Pulau Jawa dan Bali, perkiraan keuntungan mencapi Rp 60.000 per tes.

“Bisnis tes PCR ini bisnis yang keuntungannya sangat fantastis. Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan keuntungan penyedia jasa tes PCR sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021 mencapai Rp 10,46 triliun,“ Ridho menjelaskan.

Data sekunder yang didapatkan Partai Ummat menyebutkan bahwa nilai pasar tes Covid-19 selama pandemi telah mencapai 15 triliun rupiah, dan angka ini diperkirakan akan terus naik bila keputusan wajib tes PCR diberlakukan di Pulau Jawa dan Bali.

Impor alat tes PCR menurut data Direktorat Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga 23 Oktober 2021 mencapai Rp 2,27 triliun. Nilai ini hampir empat kali jumlah impor pada bulan Juni yang mencapai Rp 523 miliar.

“Bila kita lihat lonjakan jumlah impor alat tes PCR ini yang hampir mencapai empat kali dari bulan Juni ke Oktober, kita bisa berspekulasi bahwa para importir ini sudah tahu pemerintah akan mewajibkan tes PCR. Seolah ada main mata antara pemerintah dengan importir. Tetapi alhamdulillah, setelah mendapatkan tekanan publik akhirnya keputusan wajib tes PCR yang tidak masuk akal ini dibatalkan,” kata Ridho.

Data BPS menyebutkan bahwa impor terbesar alat tes PCR selama kurun waktu Januari-Agustus 2021 berasal dari Cina dan Korea Selatan, masing-masing senilai 174 juta dolar AS dan 181 juta dolar AS, lalu disusul oleh AS sebesar 45 juta dolar AS, dan Jerman 33 juta dolar AS.

Di dalam negeri, perusahaan-perusahaan importir adalah pihak yang paling diuntungkan atas impor alat tes PCR karena menguasai 88,16 persen dari keseluruhan impor, lalu disusul oleh LSM sejumlah 6,04 persen, dan pemerintah sejumlah 5,81 persen.

“Dari angka ini kita bisa simpulkan bahwa pemerintah bukanlah pemain utama dalam kebijakan impor alat tes PCR. Pemerintah memberikan kepada swasta untuk menjadi pemain utama. Bagaimana mungkin urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diberikan ke swasta?” tanya Ridho.

Itulah sebabnya, kata Ridho, berdasarkan fakta-fakta ini Partai Ummat sejalan dengan kecurigaan banyak pihak bahwa keputusan rezim Jokowi untuk mewajibkan tes PCR lebih banyak unsur bisnisnya daripada unsur kesehatan dan kemaslahatan publiknya.

“Partai Ummat mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat dari kalangan LSM, khususnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang telah mengawal kebijakan yang sangat tidak masuk akal dan merugikan konsumen ini,” kata Ridho.

Kecurigaan YLKI bahwa kebijakan mewajibkan tes PCR diambil untuk menghabiskan stok alat tes PCR menjadi sangat masuk akal, kata Ridho. “Di mana letak urgensisnya? Kan sekarang kurva kasus Covid-19 sedang melandai.“ [ham]


Tinggalkan Komentar