telusur.co.id - Aksi unjuk rasa menentang kudeta militer Sudan di ibu kota Khartoum, berakhir ricuh, dengan menewaskan 7 orang sipil dan 140 orang luka-luka.
Unjuk rasa ini dipicu setelah militer melakukan kudeta dengan menangkap Perdana Menteri sementara Abdallah Hamdok dan pejabat lainya.
Ribuan warga Sundan pun menentang kudeta, dengan turun ke jalan. Namun, aksi itu mendapat serangan tembakan di dekat markas militer di Khartoun.
Di Omdurman, juga digelar aksi unjuk rasa dengan memblokade jalan dan menyuarakan dukungan kepada pemerintah sipil.
Pemimpin Kudeta Sundan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, membubarkan Dewan Kedaulatan militer-sipil yang telah didirikan untuk membimbing negara menuju demokrasi setelah penggulingan otokrat Omar al-Bashir.
Burhan berdalih, angkatan bersenjata perlu melindungi keselamatan dan keamanan. Dirinya berjanji akan menggelar Pemilu pada Juli 2023 dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil.
"Apa yang sedang dilalui negara sekarang adalah ancaman nyata dan bahaya bagi impian kaum muda dan harapan bangsa," katanya, dilansir dari Al Jazeera, Selasa (26/10/21).
Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Nerwegia mengeluarkan pernyataan sebagai rasa keprihatinan atas situasi di Sudan.
"Tindakan militer merupakan pengkhianatan terhadap revolusi, transisi, dan pemerintah sah Sundan,” ujar negara-negara yang disebut Troika dalam sebuah pernyataan bersama.
Laporan: Nurhamidah Febriani



