telusur.co.id, Kasus kemenangan kotak kosong dalam Pilkada 2024 merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati, misalnya Pemilihan Bupati di Bangka 2024 dan Pemilihan Walikota Pangkal Pinang 2024.
Demikian disampaikan Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan kepada wartawan di Jakarta, Senin (2/12/2024).
Ditegaskan Irawan, adanya aspirasi atas kepemimpinan alternatif, seharusnya tidak hanya pada saat proses pemberian suara.
"Namun juga bisa mulai sejak awal di proses pencalonan. Akhirnya potensial juga negara dirugikan karena harus keluar biaya lagi untuk dilakukan pemilihan ulang," kata Irawan.
Karena itu, Anggota Fraksi Golkar ini memandang perlu adanya evaluasi secara holistik dan komprehensif ke depan, termasuk apakah mekanisme kotak kosong ini relevan.
"Saya sendiri berpendapat yang dipilih dan berhak dipilih di tempat pemungutan suara dan di dalam surat suara adalah yang telah mengikuti proses pencalonan," ujarnya.
Sekretaris Bidang Kebijakan Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri Partai Golkar ini menegaskan bahwa negara telah memberikan kesempatan yang setara dan kemudahan, baik melalui jalur perseorangan atau melalui jalur partai politik. Sehingga tidak perlu lagi pertanyaan lanjutan untuk setuju/tidak setuju terhadap calon yang telah melalui proses demokratis. "Meskipun untuk saat ini kita harus menghormati ketentuan konstitusional yang sedang berlaku mengenai dan keberadaan kotak kosong," paparnya.
Legislator dari Dapil Jawa Timur 5 itu menjelaskan bahwa negara sebenarnya telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). "Jadi adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd)."
Diakui Wawan-sapaan akrabnya, menangnya kotak kosong merupakan suatu dinamika sosial politik yang harus dicermati. Seharusnya jika memang rakyat menginginkan kepemimpinan alternatif, maka gerakan tersebut telah dimulai dan harus ada sejak proses pencalonan. "Toh ada mekanisme perseorangan (independen) tadi jika tidak mampu dan tidak menginginkan calon yang diusung oleh partai politik. Jadi memang harus ada yang menggerakkan," ungkapnya lagi.
Lebih jauh kata Politisi muda Partai Golkar, bahwa hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) merupakan hak konstiusional dan merupakan perwujudan dari kesetaraan dan partisipasi dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law);
Mengenai hak untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) telah memberikan jalan konstitusional untuk dapat dicalonkan melalui jalur perseorangan (independen) atau melalui jalur partai politik;
Awal dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, basis pencalonan hanya melalui oleh partai politik. Namun karena dinamika sosial, terdapat tafsir baru kaitannya dengan pemilihan secara demokratis yang tercantum dalam UUD 1945 dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. "Adanya calon perseorangan pada saat itu merupakan suatu realitas baru dan telah menimbulkan suatu kesadaran konstitusional tentang adanya kesempatan perorangan untuk dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada."
Menurut Wawan, secara konstitusional disadari bahwa calon perseorangan pun harus dibebani kewajiban persyaratan jumlah minimal dukungan terhadap calon yang bersangkutan yang mau maju dalam pilkada. Karena partai politik juga dibebani syarat minimum dukungan kursi di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk mengajukan pasangan calon.
Terhadap jumlah dukungan ini, ketentuan konstitusional terbaru yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi apabila partai politik menggunakan jumlah perolehan suara minimal yang didapatkan dalam pemilu. Saat ini presentase dukungannya telah disamakan dengan dukungan perolehan suara calon perseorangan. Banyak daerah dan pilkada pada Tahun 2024 yang menggunakan bentuk dukungan partai politik dengan basis jumlah perolehan suara partai politik karena lebih mudah, bukan kursi di DPRD;
Kenapa perlu syarat dukungan, agar warga negara yang maju dalam pemilihan bersungguh-sungguh dalam mengikuti proses pemilihan kepala daerah. Hal tersebut sebagai upaya untuk menjaga nilai dan kepercayaan rakyat terhadap proses pemilihan kepala daerah dan demokrasi. Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi akan turun. Ada kecenderungan dan potensial juga untuk dipermainkan secara tidak bertanggungjawab. "Sehingga menurut saya, Negara sebenarnya telah memberikan kemudahan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). Jadi adanya fenomena kotak kosong, apalagi kotak kosong yang kemudian menang dalam pemilihan merupakan suatu anomali dan tidak masuk akal (absurd)," pungkasnya.