telusur.co.id - Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Narkotika agar upaya pemberantasan narkoba berjalan maksimal, sekaligus tetap menjunjung pendekatan rehabilitatif terhadap para penyalahguna.
Direktur Hukum BNN, Toton Rasyid, dalam Forum Legislasi di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, menyatakan bahwa perubahan hukum mendesak dilakukan seiring diberlakukannya KUHP dan KUHAP baru.
Ia menyoroti lemahnya posisi penyidik BNN dalam draf KUHAP saat ini, karena tidak secara eksplisit disebut sebagai “penyidik tertentu” sebagaimana penyidik dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kalau draf ini disahkan tanpa perubahan, maka penyidik BNN akan berada di bawah level penyidik kelas pendidikan. Artinya, kami harus berkoordinasi dengan penyidik Polri dalam penetapan tersangka maupun pengiriman berkas perkara. Ini tidak adil bagi BNN yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan narkoba,” ujar Toton.
Menurutnya, negara seharusnya memberi kewenangan penuh kepada lembaga seperti BNN yang khusus menangani kejahatan narkotika, apalagi di tengah semakin kompleksnya modus dan jaringan peredaran narkoba.
Toton juga menegaskan bahwa BNN tidak semata-mata mengedepankan pendekatan represif, namun juga berkomitmen pada pendekatan yang lebih manusiawi terhadap penyalahguna narkoba.
“Kepala BNN memiliki tiga prinsip moral: melihat kejahatan narkoba sebagai ancaman terhadap peradaban, bertindak tegas terhadap bandar dan jaringan, serta memberikan pendekatan rehabilitatif terhadap penyalahguna,” katanya.
Ia memaparkan bahwa berdasarkan survei pada 2023, Indonesia memiliki 3,3 juta pengguna narkotika, dengan 300 ribu di antaranya adalah anak dan remaja. Angka tersebut memunculkan keprihatinan mendalam karena kelompok itu merupakan bagian dari generasi emas 2045 yang harus dilindungi.
Dalam pemetaan nasional, BNN telah mengidentifikasi 9.270 kawasan rawan narkoba, terdiri dari 457 kawasan berstatus bahaya dan 8.813 kawasan waspada. Jalur laut dan perbatasan, khususnya di wilayah pesisir Sumatra dan Kalimantan, menjadi titik rawan masuknya narkoba dari luar negeri.
“Jaringan narkoba internasional berasal dari negara-negara seperti Malaysia, Myanmar, China, Brasil, dan Belanda. Sebagian besar pasokan masuk melalui laut. Ini tantangan besar bagi Indonesia yang memiliki wilayah geografis terbuka,” jelasnya.
Toton juga menyoroti fenomena global, seperti legalisasi ganja di 15 negara dan kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengkategorikan kartel narkoba sebagai organisasi teroris. Data global menunjukkan prevalensi pengguna narkotika mencapai 296 juta orang atau 5,8 persen dari populasi dunia.
“Ini bukan lagi sekadar persoalan lokal. Narkoba adalah ancaman global yang menuntut strategi nasional yang kuat dan komprehensif,” ujarnya.
Ia menutup paparannya dengan menekankan pentingnya dukungan regulasi untuk memperkuat strategi nasional pemberantasan narkoba dan rehabilitasi pengguna. Toton mencatat bahwa kebutuhan narkotika di pasar ilegal Indonesia sangat besar: 155 ton ganja, 38 ton sabu, dan 15 juta butir ekstasi per tahun.
“Angka ini menunjukkan betapa besarnya nilai ekonomi yang dimainkan jaringan narkoba. Negara harus hadir dengan regulasi yang tidak hanya adil, tetapi juga memberi kekuatan kepada institusi yang berada di garis depan,” pungkasnya.[]