telusur.co.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Jurist Tan, mantan Staf Khusus Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) era Nadiem Makarim, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Tidak hanya itu, Jurist juga kini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan setelah berulang kali mangkir dari panggilan pemeriksaan.
"Kami sudah melakukan DPO," tegas Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar, Selasa (15/7/2025) di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan.
Kejagung menyatakan bahwa proses penyidikan terhadap perkara ini telah dimulai sejak 20 Mei 2025. Kasus ini berpusat pada proyek bantuan peralatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk satuan pendidikan tingkat dasar hingga menengah atas, yang diduga sarat rekayasa.
Pengadaan Dipaksakan, Spesifikasi Tak Sesuai Kebutuhan
Dalam proyek senilai Rp3,58 triliun dari anggaran Kemendikbudristek serta Rp6,3 triliun dari Dana Alokasi Khusus (DAK), pengadaan laptop diduga diarahkan secara tidak wajar agar menggunakan sistem operasi berbasis Chrome OS (Chromebook). Padahal, uji coba terhadap 1.000 unit Chromebook pada 2019 mengungkapkan bahwa perangkat tersebut tidak efektif sebagai sarana pembelajaran, terutama karena bergantung pada koneksi internet yang belum merata di berbagai wilayah Indonesia.
“Diduga ada pemufakatan jahat berupa mengarahkan tim teknis baru untuk menyusun kajian teknis yang mengunggulkan penggunaan Chromebook,” ungkap Qohar.
Jurist Tan dianggap sebagai pihak yang terlibat dalam skenario pengondisian proyek, namun sejak kasus ini naik ke tahap penyidikan, ia tidak pernah memenuhi panggilan sebagai saksi. Kejagung kini bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memburu keberadaan Jurist di luar negeri.
Korupsi di Balik Digitalisasi Pendidikan
Kasus ini merupakan bagian dari skandal lebih luas dalam Program Digitalisasi Pendidikan Kemendikbudristek 2019–2023, yang telah menyeret sejumlah pejabat dan konsultan teknologi sebagai tersangka. Kejagung sebelumnya juga telah menahan tiga orang lainnya: MUL (eks Direktur SMP), SW (eks Direktur SD), dan IA (konsultan teknologi).
Skandal ini menjadi sorotan tajam karena terjadi dalam program yang seharusnya mendorong pemerataan dan modernisasi pendidikan di Indonesia. Dengan kerugian negara yang ditaksir sangat besar, publik menuntut pengusutan tuntas dan pertanggungjawaban hukum dari semua pihak yang terlibat.[]