telusur.co.id - Sebelumnya Asosiasi Masyarakat Hukum Adat (APHA) telah memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, dan kawan-kawan dari VST and Partners Law Firm untuk menempuh upaya ke Mahkamah Konstitusi dengan melakukan pengujian Pasal 5 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 67/PUU-XXII/2024.
Dimana APHA menilai Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 bertentangan scara bersyarat terhadap UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "termasuk urusan adat". Hal tersebut didasari pada landasan konstitusional Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Alasannya, dalam UU 39/2008, kemudian mengatur lebih rinci tentang urusan pemerintahan. Dimana dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan: “Setiap Menteri membidangi Urusan tertentu dalam pemerintahan”. Kemudian Pasal 4 ayat (2) membagi urusan pemerintahan tersebut menjadi 3 (tiga) yakni: a. urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945; b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945; dan c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 inilah yang menjadi dasar untuk menyusun Nomenklatur kementerian negara, namun dalam bagian penjelasan yang dibatasi jumlah kementerian paling banyak 34 (tiga puluh empat).
Apabila mengacu pada Pasal 4 ayat (2) UU 39/2008 seharusnya ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 memuat semua urusan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, termasuk urusan masyarakat hukum adat yang disebutkan secara ekslisit dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Artinya apabila ditafsirkan secara sistematis, urusan adat dimana yang menjadi subjek hukumnya adalah Masyarakat Hukum adat yang ruang lingkupnya disebut dalam UUD 1945, seharusnya dimasukan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU 39/2008..
Namun apabila kita melihat ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 hanya memasukan urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan. Padahal urusan “adat” yang subjek hukumnya Masyarakat Hukum Adat secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Desakan agar rencana pembentukan Kementerian yang mengurusi urusan masyarkat hukum adat melalui Mahkamah Konstitusi semakin meluas. Selain Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) yang menjadi Pemohon dalam Perkara No. 67/PUU-XXII/2024, ada enam orang yang juga masuk menjadi Pemohon, dan sudah menandatangani kuasa, antara lain, Yanto Eluay (tokoh adat Kampung Sereh, Sentani, Papua), Salfius Sako (Sekretaris Jenderal Majelis Hakim Adat Dayat Nasional), Wiwin Indiarti (Ketua Pengurus Daerah AMAN Osing), Mujianto (Kepada Desa Ngadas/tokoh adat Suku Tengger), Gunritno (wagra Seludur Sikep), Samuel Pakage (Warga Papua).
Dengan masuknya Tokoh adat, Aktivis, masyarakat Adat, dan pengajar hukum adat diyakini akan memperkuat kedudukan hukum para pemohon dan menunjukan besarnya harapan masyarakat adat yang ada diseluruh Indonesia agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon sehingga terdapat mandat konstitusional yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi kepada Pemerintah untuk membentuk Kementerian yang mengurusi urusan Masyarakat Adat.
Tak hanya itu para Akademisi juga turut mendorong pembentukan kementerian tersebut. Seperti, Dr Abdul Rahman Nur SH Mh yang merupakan Wakil rektor IV Unanda. Juga Prof Dr Rosmidar Sembiring, Sekretaris Prodi Mkn FH USU.
Dalam pernyataanya, Sebelumnya Asosiasi Masyarakat Hukum Adat (APHA) telah memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, dkk dari VST and Partners Law Firm untuk menempuh upaya ke Mahkamah Konstitusi dengan melakukan pengujian Pasal 5 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi dengan Nomor Perkara 67/PUU-XXII/2024.
Dimana APHA menilai Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 bertentangan scara bersyarat terhadap UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: "termasuk urusan adat". Hal tersebut didasari pada landasan konstitusional Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Alasannya dalam UU 39/2008, kemudian mengatur lebih rinci tentang urusan pemerintahan. Dimana dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan: “Setiap Menteri membidangi Urusan tertentu dalam pemerintahan”. Kemudian Pasal 4 ayat (2) membagi urusan pemerintahan tersebut menjadi 3 (tiga) yakni: a. urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945; b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945; dan c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 inilah yang menjadi dasar untuk menyusun Nomenklatur kementerian negara, namun dalam bagian penjelasan yang dibatasi jumlah kementerian paling banyak 34 (tiga puluh empat).
Apabila mengacu pada Pasal 4 ayat (2) UU 39/2008 seharusnya ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 memuat semua urusan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, termasuk urusan masyarakat hukum adat yang disebutkan secara ekslisit dalam Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarkat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Artinya apabila ditafsirkan secara sistematis, urusan adat dimana yang menjadi subjek hukumnya adalah Masyarakat Hukum adat yang ruang lingkupnya disebut dalam UUD 1945, seharusnya dimasukan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU 39/2008..
Namun apabila kita melihat ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU 39/2008 hanya memasukan urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan. Padahal urusan “adat” yang subjek hukumnya Masyarakat Hukum Adat secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Sebagaimana diketahui urusan masyarakat adat terpecah dibeberapa kementerian, dan setiap kementerian yang mengurusi urusan masyarakat adat banyak yang kurang memahami tentang urusan-urusan masyarakat disetiap masing-masing adat sehingga kerap menimbulkan penolakan yang berakibat pada terlanggarnya hak-hak dari masyarakat adat yang sejatinya sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk.
Dan yang paling ironis dimana tidak jarang masyarakat adat yang ingin mendapatkan status sebagai masyarakat hukum adat melalui penetapan pemerintah daerah, permohonannya tersebut ditolak dengan alasan yang tidak jelas, sehingga kerap tidak bisa mendapatkan hak-haknya untuk mengurusi urusan pemerintahan. Termasuk mengurus perda adat yang kemudian sering mendapatkan penolakan karena ketidakpahaman pemerintah terhadap urusan adat yang diminta untuk dimuat dalam perda tersebut.
Oleh karenanya menjadi sangat penting adanya kementerian yang mengurusi urusan masyarakat adat termasuk melakukan inventarisir dan memberikan status sebagai masyarakat hukum adat sebagai bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi masyarkat adat sehingga bisa mendapatkan haknya untuk mengurusi urusan pemerintahan yang terkait dengan kepentingan masyarakat hukum adat disetiap daerah yang ada di Indonesia
Adapun beberapa Urusan yang akan menjadi kewenangan Kementerian Masyarakat Hukum Adat antara lain, Urusan Identifikasi, Verifikasi dan Validasi Masyarakat Hukum Adat yang ada di Indonesia. Urusan Penetapan Masyarkat Hukum Adat beserta Wilayah Adat dan Tanah Ulayat. Urusan Evaluasi terhadap Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.
Urusan Pelindungan Masyarakat Hukum Adat antara lain, pelindungan terhadap Wilayah Ada, Pelindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai Subjek Hukum. Pengembalian Wilayah Adat (tanah ulayat) untuk dikelola, dimanfaatkan, dilestarikan sesuai dengan adat istiadatnya. Pemberian kompensasi atas hilangnya hak Masyarakat Adat untuk mengelola Wilayah Adat. Pengembangan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup Peningkatan taraf kehidupan Masyarakat Hukum Adat. Pelestarian harta kekayaan dan/atau benda adat. Pelindungan hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat yang menjalankan pekerjaan tradisional di wilayah adatnya. Urusan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
Urusan Anggaran dalam rangka pengakuan, pelindungan dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat.
Urusan Harmonisasi Pemberlakuan antara Hukum Nasional dengan Hukum Adat.
Urusan Kepercayaan yang dianut oleh sebagian Masyarakat Adat, hingga saat ini belum terealisasi dengan baik sebagaimana amanat Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016.
Urusan Pemenuhan Hak Politik di dalam pemilihan umum ataupun pemilihak kepala daerah bagi masyarkat adat menjadi tidak bisa ikut memilih karena tidak memilki KTP. Hal tersebut disebabkan karena Masyarakat adat tersebut tinggal di hutan kawasan. Sehingga dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan karena didalam UU Kehutanan tidak boleh ada desa di dalam kawasan hutan. Hal tersebut menyebabkan masyarakat adat yang tinggal dalam kawasan hutan menjadi tidak bisa mengurus KTP. Hal itu menjadi hambatan bagi pemenuhan hak politik bagi masyarakat adat.
Urusan Pemberdayan dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Masyarakat Hukum Adat dalam memasuki globalisasi.
Dan urusan lainnya yang terkait dengan masyarakat hukum adat.(fie)