Dirnarkoba Dipecat karena Peras Penonton DWP, Komisi III: Langkah Polri Sudah Tepat - Telusur

Dirnarkoba Dipecat karena Peras Penonton DWP, Komisi III: Langkah Polri Sudah Tepat

Abdullah. Foto ist

telusur.co.id - Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI Abdullah menyambut baik pemecatan Dirnarkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak yang terbukti melakukan pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024. Dia menilai putusan tersebut sudah tepat.

Dalam sidang Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) yang digelar Selasa (31/12/2024), ada tiga anggota Polri yang disidang. Selain memecat Donald, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri juga memutus pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap satu polisi yang lain. Namun, belum disebutkan nama polisi tersebut.

Gus Abduh, sapaan akrab Abdullah mengapresiasi langkah tegas Polri dalam menangani kasus pemerasan terhadap penonton DWP yang berasal dari Malaysia. Sejak awal, dia mendesak Polri untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

Menurut dia, pemecatan terhadap Donald sudah tepat, karena sudah didukung dengan sejumlah bukti. Sidang KKEP itu menghadirkan belasan saksi, baik yang meringankan maupun yang memberatkan.

"Jadi, pemecatan itu sudah didukung dengan banyak bukti. Itu merupakan langkah yang tepat," ujar Gus Abduh, Kamis (2/1/2025).

Tentu, lanjut legislator asal Dapil Jawa Tengah VI itu, Polri tidak mungkin sembarangan dalam memutuskan pemecatan kepada anggotanya. Keputusan itu pasti didasari pada bukti yang sangat kuat.

 Apalagi, kata Gus Abduh, Donald merupakan atasan dari para polisi yang diduga melakukan pemerasan terhadap penonton DWP, dengan modus pemeriksaan tes narkoba. Tes narkoba sebenarnya merupakan hal yang baik, tapi akan menjadi tidak baik ketika disalahgunakan.

Gus Abduh menegaskan, setelah ini sidang etik harus dilanjutkan kepada para pelaku yang lain. Sidang tersebut juga harus dilakukan secara transparan. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi, sehingga semua masyarakat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.

"Tidak timbul kecurigaan di tengah masyarakat. Sidang etik harus transparan. Masyarakat kita semakin cerdas dan kritis," ungkap Gus Abduh.

Selain itu, kata Gus Abduh, pelaksanaan sidang etik tidak boleh tebang pilih. Tidak boleh ada perlakukan berbeda atau istimewa terhadap para pelaku. Mereka harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam sidang etik. Mereka yang terbukti melanggar etik harus dijatuhi sanksi.

Setelah sidang etik, para pelaku juga harus dijatuhi hukuman pidana. Tindak pindana pemerasan sudah diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 36 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apalagi, uang hasil pemerasan itu cukup besar, mencapai Rp 2,5 miliar.

Gus Abduh menambahkan bahwa para pelaku bukan hanya mencoreng nama baik Polri, tapi sudah merusak citra Indonesia di mata dunia, karena yang mereka peras bukan warga Indonesia, tapi warga Malaysia.

Masyarakat internasional akan menganggap bahwa Indonesia, khususnya polisi adalah tukang peras dan tidak bermoral. Padahal, pemerasan itu hanya dilakukan sejumlah oknum polisi, bukan Polri secara lembaga. [ham]


Tinggalkan Komentar