telusur.co.id - Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Pimpinan DPD RI menggelar Bimbingan Teknis Pendidikan Keistimewaan. Acara ini merupakan tindak lanjut dari FGD “Realisasi Pendidikan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta” yang berlangsung tanggal 24 Januari 2025.
“Internalisasi nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta di sekolah-sekolah menjadi penting. Selalu saya tekankan bahwa, penguatan karakter pada anak-anak kita tentang keistimewaan, nilai-nilai luhur, dan etika perlu menjadi perhatian bersama. Undang-undang Keistimewaan Nomor 13 Tahun 2012 menjadi rujukan kebijakan yang harus bersifat implementatif,” jelasnya.
Berlangsung di Ruang Serbaguna lt. 1 Kantor DPD RI DIY (10/04/2025), Permaisuri Kraton Yogyakarta ini nampak mengikuti sesi diskusi hingga akhir.
“Yogyakarta dengan sebagai provinsi yang memiliki berbagai nilai filosofis harus menjadi tolak ukur bagi daerah lain dalam membangkitkan peradaban. Ini bisa dimulai dari perbaikan sistem pendidikan di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, bimbingan teknis ini merupakan upaya mewujudkan nilai-nilai keistimewaan yang lebih implementatif dan lebih teknis,” imbuhnya lagi.
Beliau menyatakan turut prihatin dengan banyaknya aduan yang masuk terkait dengan persoalan pendidikan. Mulai dari peserta didik yang tidak bisa ikut ujian karena belum menyelesaikan administrasi, kasus bullying, penahanan ijazah, serta masalah kenakalan remaja.
“Selain lembaga pendidikan, pendidikan menjadi penting untuk menanamkan karakter pada anak. Termasuk dalam hal ini, saya berharap, berbagai tantangan teknologi informasi, arus globalisasi, nilai-nilai budaya yang ada di Yogyakarta tetap menjadi nilai yang dipegang teguh,” imbuhnya lagi.
Dr. Y. Sari Murti Widyastuti S.H., M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya/Ketua Pelaksana Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY (FPKK DIY) dalam memandu acara ini menjelaskan bahwa konsep dasar pendidikan inklusif yang dibahas dalam Bimtek kali ini tidak hanya soal keterbatasan fisik. Tetapi juga mencakup penerimaan terhadap perbedaan, keadilan dalam memberikan akses dan peluang, serta partisipasi aktif dari semua peserta didik.
“Maka, kepala-kepala sekolah yang hadir dari SMA/SMK Se-DIY juga didorong untuk ikut terlibat aktif. Karena, seringkali isu inklusivitas ini tidak hanya dilakukan oleh antar murid, tetapi juga oleh guru,” terangnya.
Drs. Suhirman, Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kegiatan ini menyampaikan tentang Kebijakan dan Regulasi Pendidikan Inklusif di DIY.
“Peraturan Daerah Terkait Budaya dan Pendidikan DIY mengacu pada Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta: Menekankan pelestarian nilai-nilai budaya Yogyakarta, seperti unggah-ungguh, harmoni, dan rasa kemanusiaan, sebagai pedoman menghadapi globalisasi,” jelasnya.
Beliau menambahkan bahwa Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Budaya menjadi pedoman mengintegrasikan nilai budaya Yogyakarta dalam pendidikan untuk membentuk karakter peserta didik berbasis budaya lokal, selain pencapaian akademik.
Secara teknis, Disdikpora DIY membentuk berbagai Program Pendidikan Keistimewaan Jogkarta (PKJ). Ada beberapa program misalnya Sekolah Rintisan Budaya, Sekolah Tumbuh Budaya, Sekolah Kembang Budaya dan Sekolah Mandiri Budaya.
Menambahkan hal ini, secara konseptual Ki Darmaningtyas selaku aktivis Pendidikan Tamansiswa menyampaikan bahwa Yogyakarta memiliki nilai filosofi yang luar biasa dan harus dijaga. Perlu diperhatikan bersama terkait dengan Tri Pusat Pendidikan yakni sekolah, keluarga, dan lingkungan.
“Kita terkadang terlalu fokus hanya pada lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Padahal, keluarga dan lingkungan juga menjadi penting dalam membentuk karakter anak. Dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak,” jelasnya.
Pada sesi tanya jawab, beberapa kepala sekolah menyampaikan masukan -masukan. Arifah dari SMK 2 Negeri Sewon Bantul menjelaskan di sekolah masih banyak kasus kekerasan pada anak. Perlu mencari solusi terkait bagaimana membangun ruang aman untuk siswa bisa melapor tanpa rasa takut dan tanpa stigma yang dilekatkan.
“Saya sangat setuju dengan Tripusat pendidikan. Parenting sangat dibutuhkan karena di SMK kami berasal dari lingkungan menengah ke bawah. Kondisi ekonomi keluarga juga tidak begitu bagus. Terjadi ketidaksinkronan antara pendidikan di rumah maupun di sekolah,” jelasnya.
Menambahkan poin tentang tantangan perkembangan Teknologi, GKR Bendara selaku Penghageng KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta menyampaikan bahwa kecanggihan teknologi tidak bisa dihindari.
“Apakah dunia pendidikan itu sudah siap dengan kecanggihan teknologi. Kita tidak bisa melarang anak-anak menggunakannya. Karena, teknologi merupakan jembatan bagi generasi saat ini yang harus melek teknologi. Namun yang harus kita rumuskan bersama ialah bagaimana mengoptimalisasi kecanggihan teknologi. Karena, kedepan banyak pekerjaan baru yang basisnya teknologi,” jelasnya.
Soal implementasi nilai-nilai keistimewaan, GKR Bendara mengajak sekolah-sekolah dan Disdikpora untuk berkolaborasi dengan Kraton Jogja. Mungkin bisa dengan mengajak sekolah-sekolah dan siswa untuk mengikuti Pawiyatan.[]