Ketua MPR RI Tegaskan Dokter Harus Mampu Mempertanggungjawabkan Setiap Tindakan Kedokteran - Telusur

Ketua MPR RI Tegaskan Dokter Harus Mampu Mempertanggungjawabkan Setiap Tindakan Kedokteran


telusur.co.id - Ketua MPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menjadi salah satu penguji dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur Prasetyo Edi yang menjabat Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Mengangkat tema disertasi tentang 'Pertanggungjawaban Hukum Dokter Spesialis yang Tidak Memiliki Kompetensi Penyebab Kematian dan Kesakitan Pada Pasien'.

Dengan telah disahkannya RUU Kesehatan oleh pemerintah dan DPR RI, maka kehadiran penelitian ini bisa menjadi nilai tambah. Khususnya dalam menyusun peraturan turunan dari berbagai hal yang sudah diatur dalam RUU Kesehatan tersebut.

"Misalnya terkait perlindungan terhadap dokter dalam menjalankan tugasnya, dengan tetap menjamin hak-hak pasien sebagai wujud implementasi pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan," ujar Bamsoet saat menjadi penguji dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur Prasetyo Edi, di Universitas Borobudur, Jakarta, Kamis (27/7/23).

Para penguji lainnya yakni Penguji Internal Rektor Universitas Borobudur Prof. Bambang Bernanthos, serta Dr. Ahmad Redi, Penguji eksternal Prof. Zainal Arifin Husein, Promotor Prof. Faisal Santiago, dan Ko-Promotor Dr. St. Laksanto Utomo.

Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, salah satu kesimpulan penelitian yang dapat dijadikan masukan bagi pemerintah yakni dokter dapat dianggap tidak kompeten dan dapat dituntut pertanggungjawaban hukum akibat kematian pasien bila dokter dalam melakukan praktek kedokteran melanggar kaidah kompetensi pada disiplin kedokteran. Antara lain, melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten; tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai maupun mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi yang sesuai.

Putusan inkrah MKDKI perihal pelanggaran non-kompetensi yang diputus bersalah pada 2020-2023, mencatat ada 34 dokter yang diputus melanggar disiplin kedokteran. Terdiri dari 23 dokter spesialis dan 11 dokter umum.

"Karena itu, negara harus hadir dalam pengaturan hukum antara dokter dan pasien. Disinilah pentingnya kehadiran dan kewenangan yang kuat dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)," jelas Bamsoet.

Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD (PADIH UNPAD) dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, penelitian ini juga menyoroti teknik kedokteran yang selalu berkembang sebagai bagian dari kemajuan teknologi. Sehingga diperlukan pengaturan undang-undang spesifik yang membahas tentang perkembangan teknik kedokteran dalam membantu proses pengobatan pasien, untuk memastikan perkembangan pemanfaatan teknik kedokteran agar sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai luhur etika kedokteran berdasarkan kode etik kedokteran dan sumpah dokter.

"Pengaturan yang diatur tersebut misalnya, pengesahan teknik kedokteran yang dapat digunakan dalam praktik kedokteran, persyaratan teknis penggunaan teknik kedokteran, persyaratan administrasi dalam penggunaan teknik kedokteran, kualifikasi dokter yang dapat menggunakan teknik kedokteran tersebut, pengawasan dalam penggunaan teknik kedokteran, batasan wewenang dokter dalam menggunakan teknik kedokteran dalam pengobatan pasien serta mengembangkan kebijakan dan prosedur administratif dalam kaitannya menggunakan teknik kedokteran," pungkas Bamsoet.[]


Tinggalkan Komentar