Komisi II DPR: Sebaiknya Sistem Pemilu Diperbaiki, Bukan Diganti - Telusur

Komisi II DPR: Sebaiknya Sistem Pemilu Diperbaiki, Bukan Diganti

Komisi II DPR RI Gelar RDPU dengan Peniliti Politik dan Kepemiluan (Foto: Telusur/Dhanis)

telusur.co.id - Anggota Komisi II DPR RI Deddy Yevry Sitorus, menanggapi usulan penerapan sistem pemilu campuran yang dikemukakan oleh para penilti politik dan kepemiluan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025). 

Sebagai informasi, RDPU ini dilakukan untuk menerima pandangan dan masukan terhadap Sistem Politik dan Sistem Pemilu untuk Perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Menurut Deddy, semua masukan dan usulan system tersebut akan sia-sia, jika masih ada pihak-pihak yang dengan sengaja mengintimidasi penyelenggaraan pemilu itu sendiri. 

"Pemilu itu sendiri sangat rentang terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi, dan sebagainya," kata Deddy di ruang rapat Komisi II. 

Lebih parah lagi kata Deddy, usulan itu menjadi tak berguna jika penyelenggara dan pengawas pemilu itu justru menjadi bagian dari kerusakan demokrasi. 

"Dan lebih jelek lagi itu ketika penyelenggara dan pengawas menjadi bagian dari kerusakan itu. Gimana sih ngatasin itu? Kalau kita mau bicara tentang pemilu, karena tidak ada sistem pemilu apapun yang bisa dikatakan sempurna, bahkan mendekati sempurna. Tidak akan ada," kata Deddy. 

Sebab itu, kata Deddy, usulan merubah sistem pemilu proporsional terbuka bukanlah suatu jalan keluar untuk menyelamatkan demokrasi, karena pergantian sistem akan memungkinkan adanya pergantian ulang sistem di kemudian hari. 

"Sebaik-baiknya sebuah sistem adalah yang terus-menerus diperbaiki, bukan terus-menerus digonta ganti. Kan harusnya begitu mikirnya. Jangan karena ini kita anggap buruk, lalu ada sistem yang lain menggantikan, nanti hal yang sama terulang," ujarnya. 

"Harusnya kan perbaikan terus-menerus, bagian-bagian yang kurangnya bagaimana? Aspek partai politik atau peserta pemilu. Penyelenggara-pengawas bagaimana? Moralitas penyelenggara-negara bagaimana? Kan ini semua yang harus menjadi diskusi yang lebih relevan, kalau menurut saya. Hampir semua tadi Bapak-Ibu menyampaikan bagaimana baiknya kalau ada mixed system, kan gitu," tambahnya. 

Untuk itu, kata Deddy, sistem pemilu sehebat apapun tak akan berguna jika masih ada pihak-pihak yang berkuasa untuk melakukan tidak cawe-cawe dalam kontestasi pemilihan. 

"Kalau kita masih bicara ada institusi kekuasaan seperti polisi, jaksa, ASN, kepala desa, masih bisa cawe-cawe di sana. Ya omong kosong, kan kalau sistem pemilu kayak apapun selalu ada jalan untuk menutupnya," pungkasnya. 

Adapun sebelumnya pada rapat tersebut, Peniliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Delia Wildianti, mengusulkan kepada DPR agar sistem pemilu di Indonesia dapat beralih ke sistem campuran.

Awalnya, Delia menyampaikan pandangannya mengenai sistem pemilu proporsional terbuka yang menurutnya meski memberikan kebebasan dalam memilih calon legislatif (caleg) secara langsung, tetapi faktanya sistem ini justru berdampak negatif terhadap institusionalisasi partai politik.

"Kalau kita merujuk kepada semangat proporsional terbuka, sebetulnya Puskapol mendorong sistem proporsional terbuka karena semangatnya pemilih itu bisa diberikan pilihan memilih caleg secara langsung, jadi dia bisa mengenal siapa caleg yang dia pilih," kata Delia di Ruang Rapat Komisi II. 

"Tetapi dalam praktiknya ternyata sistem itu membuat pelemahan institusionalisasi partai karena calon bertarung secara individu dengan calon-calon lain, jadi partai hanya menjadi tiket saja," tambahnya.

Sebab itu, berdasarkan hasil studi yang dilakukan Puskapol kata Delia, pihaknya mengusulkan agar sistem pemilu yang berlaku di Indonesia dapat beralih ke sistem campuran. 

"Kami mempelajari ada 27 negara yang telah melakukan reformasi keuangan partai, serta sistem pemilu yang mereka gunakan untuk mendorong kesetaraan gender," katanya. 

"Kami percaya dengan sistem pemilu campuran, Indonesia bisa mencapai dua tujuan utama, yaitu penguatan institusi partai politik dan peningkatan keterwakilan politik," lanjutnya.

Untuk itu, kata Delia, sistem pemilu penerapan sistem pemilu campuran diyakini dapat memperkuat posisi partai politik dan memberikan ruang yang lebih besar bagi keterwakilan perempuan dalam politik. 

"Dengan sistem pemilu campuran, kita bisa mencapai dua tujuan yang diinginkan dalam proses pemilu, yaitu penguatan institusi partai politik dan memperkuat keterwakilan politik," pungkas Delia.[Nug]

 

Laporan: Dhanis Iswara

 


Tinggalkan Komentar