Telusur.co.id - Oleh: Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan
Saat ini, istilah “Generasi Cemas” semakin sering digunakan untuk menggambarkan kondisi Gen Z bahkan mulai dilekatkan pada Gen Alpha. Label ini kerap dibarengi dengan stigma bahwa mereka rapuh, kurang beretika dalam dunia kerja, atau terlalu emosional. Namun, jika kita melihat fenomena ini dengan sudut pandang yang lebih jernih dan berjarak dari prasangka, akan tampak realitas yang jauh lebih kompleks. Kecemasan yang dialami generasi ini bukanlah cacat karakter, melainkan respons psikologis yang rasional terhadap krisis multidimensi yang mereka hadapi.
Dulu, narasi kesuksesan hidup terasa cukup linear: sekolah, bekerja, menikah, dan memiliki rumah. Pola tersebut kini tidak lagi berlaku. Jalur kehidupan yang sebelumnya terasa jelas dan terjangkau, kini menjadi semakin kabur. Kita justru menyaksikan sebuah paradoks, ketika generasi yang paling terdidik justru menjadi generasi yang paling merasa tidak aman secara finansial. Kondisi ini terbentuk dari kombinasi upah yang sulit meningkat, melemahnya kelas menengah, serta harga hunian yang terus melambung jauh dari jangkauan generasi muda.
Masalah utama yang dihadapi generasi ini adalah apa yang dapat disebut sebagai ketimpangan kecepatan. Kenaikan upah riil berjalan lambat, sementara harga aset meningkat jauh lebih cepat. Bagi lulusan baru, upaya menabung untuk membeli rumah sering kali terasa tidak sebanding dengan laju kenaikan harga properti. Kesenjangan ini kemudian memicu fenomena doom spending, ketika masa depan terasa sulit dijangkau dan pendapatan dialihkan pada konsumsi jangka pendek sebagai mekanisme bertahan secara psikologis. Ketidakpastian ini diperparah oleh skill gap akibat pesatnya teknologi AI, yang membuat mereka merasa harus terus berlari hanya untuk tetap relevan di pasar kerja.
Kecemasan ini bukan sekadar perasaan abstrak, tetapi tercermin dalam angka yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan sekitar 15,5 juta remaja Indonesia usia 10–17 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Fenomena ini tak terlepas dari pola hidup digital, di mana mayoritas pengguna internet berasal dari kelompok usia produktif (18–34 tahun) dengan durasi paparan lebih dari tiga jam per hari. Paparan informasi yang berlebihan serta tekanan standar hidup di media sosial menciptakan beban psikologis yang terus-menerus, di mana individu terdorong untuk selalu membandingkan diri. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam Fear of Missing Out (FOMO) dan krisis identitas karena menghadapi standar kehidupan semu yang ditampilkan di layar ponsel.
Tekanan tersebut semakin terasa seiring bergesernya dunia kerja menuju kondisi yang semakin tidak pasti. Stabilitas pekerjaan kini sulit diperoleh, dengan sistem kontrak jangka pendek yang membatasi rasa aman terhadap masa depan. Pada saat yang sama, budaya kerja yang menuntut produktivitas tinggi mendorong individu untuk terus bekerja, sering kali tanpa ruang pemulihan yang memadai. Di tempat kerja, generasi muda juga kerap menghadapi gesekan antargenerasi dan dilekatkan pada stigma sebagai kelompok yang kurang tangguh atau kurang berkomitmen, meskipun pada kenyataannya mereka harus beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan kondisi yang tidak stabil. Perkembangan teknologi digital kemudian semakin mengaburkan batas antara waktu kerja dan ruang pribadi, sehingga tekanan kerja tidak lagi bersifat sementara, tetapi berlangsung secara berkelanjutan.
Kecemasan tersebut bahkan merembes hingga ke ruang paling intim, yaitu rumah. Fenomena phubbing, hadir secara fisik namun perhatian teralihkan oleh gawai, semakin sering terjadi dalam lingkungan keluarga. Ketika rumah tidak lagi menjadi ruang aman untuk didengar dan dipahami secara utuh, muncul ketidakamanan emosional yang memicu kecenderungan overthinking. Kita pun menyaksikan paradoks sebuah generasi yang kesepian di tengah keramaian, memiliki ribuan koneksi daring, tetapi kehilangan ruang komunikasi langsung yang hangat di lingkungan terdekat.
Media sosial membuat generasi muda semakin sering membandingkan hidupnya dengan orang lain. Apa yang terlihat di layar ponsel kerap menampilkan kesuksesan dan gaya hidup yang tidak sepenuhnya mencerminkan realitas. Hal ini menimbulkan tekanan karena kondisi ekonomi yang terbatas harus berhadapan dengan tuntutan sosial yang semakin tinggi. Akhirnya, beban hidup tidak hanya berasal dari kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dari keinginan untuk memenuhi ekspektasi lingkungan.
Sebagai bentuk penyesuaian, banyak generasi muda memilih menunda langkah-langkah besar dalam hidup. Keputusan untuk menikah atau memiliki anak sering kali dianggap terlalu berisiko secara finansial. Namun di sisi lain, kecemasan ini juga melahirkan kesadaran baru. Mereka menjadi lebih vokal dalam menyuarakan isu keadilan sosial, kesetaraan, dan lingkungan. Keinginan akan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan tumbuh dari pengalaman hidup di tengah sistem yang penuh ketidakpastian.
Oleh karena itu, kecemasan yang dialami generasi ini tidak tepat jika dilihat semata-mata sebagai persoalan psikologis individu. Sebutan “Generasi Cemas” justru menjadi peringatan bagi tatanan ekonomi dan sosial yang mulai goyah. Diperlukan kerja bersama untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan bebas stigma, kebijakan publik yang menjamin hak dasar seperti akses terhadap perumahan yang terjangkau, serta lingkungan keluarga yang kembali menempatkan hubungan antarmanusia sebagai prioritas.
Kita tidak kekurangan nasihat tentang cara mengelola stres; yang kita butuhkan adalah sistem ekonomi dan sosial yang berhenti memproduksi stres secara struktural. Dengan menghadirkan kepastian masa depan dan memulihkan kehangatan relasi nyata, kita dapat mengubah arah bangsa ini bukan sekadar melahirkan generasi yang cemas, melainkan memupuk generasi emas yang benar-benar siap membangun masa depan yang lebih baik.




