telusur.co.id - Pembunuhan jurnalis di Gaza telah mencapai skala yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengkhawatirkan, sebagaimana disorot oleh laporan terbaru dari Palestine Chronicle yang merinci kematian lima jurnalis lagi dalam serangan udara Israel, sehingga total yang dikonfirmasi menjadi sedikitnya 219 jurnalis dan pekerja media Palestina hingga 19 Mei 2025.
Tragedi ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari pola yang terus berlanjut sejak 7 Oktober 2023, yang menjadikan Gaza sebagai tempat paling mematikan bagi jurnalis dalam sejarah modern, melampaui jumlah korban dari kedua Perang Dunia, Vietnam, Yugoslavia, dan Afghanistan jika digabungkan.
Penargetan dan pembunuhan sistematis terhadap jurnalis di Gaza tidak hanya merupakan bencana kemanusiaan tetapi juga serangan langsung terhadap kebebasan pers global dan hak atas informasi.
Serangan tersebut sistematis dan tertarget
Kelompok kebebasan pers terkemuka termasuk Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Reporter Tanpa Batas (RSF), dan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) telah mengumpulkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa penargetan jurnalis di Gaza adalah disengaja, bukan kebetulan.
Banyak wartawan tewas dalam serangan langsung terhadap kendaraan pers yang ditandai atau saat berada di rumah. Seluruh kantor media dan pusat komunikasi telah hancur, yang sangat membatasi kemampuan Gaza untuk melaporkan berita di lapangan. CPJ mencatat bahwa sekitar 10% wartawan yang berbasis di Gaza telah terbunuh angka kematian yang sangat tinggi dibandingkan dengan profesi lainnya.
Namun, meskipun ada kekhawatiran internasional yang meningkat, pembenaran Israel bahwa jurnalis ini terkait dengan kelompok militan sebagian besar masih belum terbukti.
Sebagaimana yang dinyatakan Sherif Mansour dari CPJ, “Tentara Israel telah membunuh lebih banyak jurnalis dalam 10 minggu dibandingkan dengan jumlah yang pernah dibunuh oleh tentara atau entitas lain dalam satu tahun. Dengan terbunuhnya setiap jurnalis, perang menjadi semakin sulit untuk didokumentasikan dan dipahami”.
Respon internasional
Tanggapan internasional mencakup kritik keras dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi hak asasi manusia besar. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, bersama dengan Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), menyebut jumlah korban tewas jurnalis di Gaza sebagai "angka yang belum pernah terjadi sebelumnya" di zaman modern.
Tekanan hukum juga meningkat RSF dan IFJ telah mengajukan kasus ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Pada bulan Mei 2024, jaksa penuntut umum ICC mengajukan surat perintah penangkapan terhadap pejabat senior Israel atas dugaan kejahatan perang.
Lebih dari 30 media berita internasional telah menuntut perlindungan yang lebih kuat bagi jurnalis dan menyerukan penyelidikan independen. Sementara kelompok-kelompok kemanusiaan terus menyediakan pasokan darurat bagi wartawan yang selamat di Gaza, tantangan tetap berat.
Pembatasan Israel terhadap jurnalis asing yang memasuki Gaza telah membuat reporter lokal sangat rentan dan terisolasi dari dukungan eksternal.
Dampak pada jurnalisme dan masyarakat
Setiap jurnalis yang terbunuh berarti kehilangan saksi, cerita, dan sepotong kebenaran. Penargetan sistematis terhadap pekerja media telah menciptakan pemadaman informasi hampir total di Gaza, sehingga hampir mustahil bagi dunia untuk mengetahui sepenuhnya bencana kemanusiaan tersebut.
Seperti yang ditegaskan Carlos Martinez de la Serna dari CPJ, "Setiap kali seorang jurnalis terbunuh, terluka, ditangkap, atau dipaksa pergi ke pengasingan, kita kehilangan sebagian kecil kebenaran. Mereka yang bertanggung jawab atas korban-korban ini menghadapi dua pengadilan: satu di bawah hukum internasional dan satu lagi di hadapan tatapan mata sejarah yang tak kenal ampun".
Hancurnya infrastruktur media Gaza dan hilangnya banyak jurnalis telah melemahkan masyarakat sipil, mengurangi akuntabilitas pemerintah, dan menyebabkan generasi mendatang tidak memiliki akses terhadap jurnalisme lokal yang independen.
Pemadaman listrik juga mengganggu koordinasi kemanusiaan dan tanggap darurat, membahayakan kehidupan warga sipil dan memperdalam krisis.
Jumlah mengejutkan dari jurnalis yang terbunuh di Gaza menunjukkan adanya krisis yang berkembang bukan hanya bagi kebebasan pers, tetapi juga bagi akses dunia terhadap kebenaran.
Karena wartawan sengaja menjadi sasaran dan dibungkam, aliran informasi langsung dari lapangan terputus. Apa yang terjadi bukan hanya tragedi lokal tetapi ancaman bagi jurnalisme di mana pun.
Hampir runtuhnya lanskap media di Gaza telah menghilangkan transparansi konflik dan menghilangkan suara vital warga sipil. Ini lebih dari sekadar medan perang di sinilah kebenaran dikubur.
Jika masyarakat global gagal menuntut keadilan dan memberikan perlindungan bagi jurnalis, pola mematikan ini akan terus berlanjut.
Meminta pertanggungjawaban kepada mereka yang bertanggung jawab bukanlah pilihan; itu perlu. Karena jika kebenaran dibungkam di sini, maka kebenaran dapat dibungkam di mana saja.[iis]