Formappi: Ada Potensi Kejahatan di Balik Kekacauan Naskah dan Isi UU Ciptaker - Telusur

Formappi: Ada Potensi Kejahatan di Balik Kekacauan Naskah dan Isi UU Ciptaker

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus. (Ist).

telusur.co.id - Pengakuan Ketua Baleg Supratman Andi Agtas terkait adanya pasal  tentang minyak dan gas bumi yang dihapus oleh Setneg  dari UU Ciptaker terbaru sungguh  mengejutkan sekaliguskan menjengkelkan. 

Begitu disampaikan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dalam keterangan yang diterima wartawan, Jumat (23/10/20).

"Mengejutkan karena pengakuan itu akhirnya datang setelah dengan mulut berbusa-busa, Ketua Baleg, DPR dan Pemerintah selama beberapa waktu terakhir sibuk meyakinkan publik bahwa tak ada masalah dengan substansi, tak ada yang diubah dalam proses perbaikan naskah UU Ciptaker pasca paripurna," kata Lucius. 

Lucius mengatakan, retorika dengan menggunakan kata "pasti" dari Ketua Baleg ini terbukti tak layak dipercaya setelah ditelanjangi oleh penghapusan ketentuan terkait minyak dan gas bumi oleh Setneg.

Lucius menuturkan, informasi penghapusan pasal ini bertambah menjengkelkan karena penghapusan pasal oleh Setneg itu tak sedikitpun mengundang rasa bersalah dan penyesalan dalam klarifikasi yang disampaikan oleh Supratman. 

"Seolah-olah apa yang terjadi adalah sesuatu yang biasa. Seolah-olah pengutak-atikan pasal menjadi hal yang lumrah sehingga tak perlu disesalkan," ungkap Lucius.

"Dimana pertanggungjawaban untuk semua klarifikasi yang serba pasti yang disampaikan DPR terkait naskah final UU Ciptaker? itu tak terlihat sama sekali dalam klarifikasi Ketua Baleg. Ia bahkan masih berkelit dengan menyebut ketaksengajaan di balik masih nongolnya pasal yang menurutnya sudah ditolak pada proses pembahasan," sambung Lucius mempertanyakan.

Dia mengungkapkan, pengakuan adanya penghapusan ketentuan  terkait minyak dan gas bumi oleh Setneg menjadi bukti UU Ciptaker ini kacau balau. Menurutnya, sangat tak layak sebuah UU jika di dalamnya ada pasal-pasal yang tak disadari keberadaannya bahkan oleh pembuatnya. 

"Pengakuan itu sesungguhnya mengakhiri semua kecurigaan belakangan ini bahwa upaya revisi yang diakui DPR hanya terkait hal-hal teknis setelah RUU Ciptaker disahkan pada rapat paripurna 5 Oktober lalu," terangnya.

"Fakta ada pasal yang menurut Supratman sebenarnya sudah ditolak saat proses pembahasan, tetapi nyatanya masih ada di naskah sesungguhnya mengonfirmasi bahwa naskah RUU Ciptaker ini abal-abal," tambahnya.

Dia menduga pasal yang dihapus Setneg itu mungkin saja bukan buah dari ketelodoran berupa kelupaaan mencoret ketentuan yang sudah tak disetujui pada rapat kerja. Bisa jadi pasal Ini merupakan pasal selundupan.

"Jadi klarifikasi Supratman yang tak merasa ada persoalan serius di balik penghapusan pasal oleh Setneg tak bisa diterima begitu saja. Ini sesuatu yang serius karena publik yang memang tak membaca naskah sejak awal punya alasan untuk meragukan semua isi UU Ciptaker ini," terangnya. 

Terhadap fakta adanya penghapusan pasal dan juga pengakuan dari DPR ini, menurut dia, klarifikasi saja tak cukup, apalagi jika klarifikasi itu hanya untuk mengatakan telah terjadinya kekeliruan teknis. Karena naskah yang dihapus Setneg itu sudah disahkan menjadi UU Ciptaker, maka pertanggungjawabannya tak bisa dengan klarifikasi begitu saja, lalu masalah dianggap selesai.

"Saya melihat ada potensi kejahatan di balik kekacauan naskah dan berikut isi UU Ciptaker ini sebagaimana terungkap melalui penghapusan pasal oleh Setneg ini," ungkapnya.

"Sehingga kekacauan atau kesalahan itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan politik," imbuhnya. 

Secara hukum, kata dia, penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan bisa menelusuri proses pembentukan UU Ciptaker ini untuk membuktikan motif keberadaan pasal yang dihapus Setneg. Dari sisi politik, fakta penghapusan pasal ini membuktikan bahwa UU Ciptaker ini cacat legitimasi. 

Dia mengungkapkan, adanya kekacauan naskah itu harus mendorong presiden secara politik untuk menggunakan kewenangannya membatalkan UU ini. Presiden bisa memilih menggunakan Perppu untuk membatalkan UU Ciptaker ini dengan alasan adanya pasal-pasal yang disetujui DPR dan Pemerintah yang belakangan dihapus. 

"Presiden harus menganggap ini sesuatu yang serius bagi dirinya karena ia bisa dianggap mendesign sebuah UU yang isinya tak bisa dipertanggungjawabkan," pungkasnya. [Tp]
 


Tinggalkan Komentar