Keputusan Melaksanakan Pilkada 2020 Bagai Buah Simalakama - Telusur

Keputusan Melaksanakan Pilkada 2020 Bagai Buah Simalakama

Diskusi Forum Pegislasi bertajuk  “Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi Covid-19” di Media Center, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/6/20). (Foto: telusur.co.id/Bambang Tri)

telusur.co.id - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, keputusan untuk melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020 bukanlah hal yang mudah di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Namun, mau tidak mau, harus diputuskan.

“Keputusan melaksanakan Pilkada saat ini (2020) tidak mudah, jadi dilema. Bagai buah simalakama. Tapi harus diambil (keputusan),” kata Doli dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk  “Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi Covid-19” di Media Center, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/6/20).

Doli mengungkapkan, ada beberapa aspek yang dipertimbangkan oleh DPR RI dengam menyetujui pelaksanaan Pilkada serentak digelar pada 9 Desember 2020. 

"Pertama, pernyataan dari organisasi kesehatan dunia (WHO) yang menyatakan bahwa virus ini (Covid-19) belum bisa diprediksi kapan akan berakhir," ujar Doli.

Kemudian melihat pengalaman dari negara-negara lain yang berhasil melaksanakan pemilihan, baik pemilihan presiden maupun pemilihan lokal.

“Paling fenomenal adalah pemilihan di Korea Selatan yang tingkat keikutsertaan pemilihnya mencapai sekitar 80 persen. Juga Pemilihan Presiden Polandia yang cukup berhasil,” ungkapnya.

Pertimbangan selanjutnya adalah persoalan penggunaan anggaran dan tahapan Pilkada yang sudah berjalan. Menurutnya, bila Pilkada diundur sekitar 6 hingga 9 bulan, berarti sama saja dengan memulai lagi dari awal. 

"Tahapan dan anggaran Pilkada yang sudah berjalan hilang, tanpa bekas. Itu berarti perlu anggaran yang baru lagi,” terangnya.

Yang terpenting, kata dia, adalah komitmen dari semua pihak. Kalau semua berkomitmen dan solid, dia yakin Pilkada bisa terlaksana sesuai rencana. 

"Tapi kalau masih ragu-ragu, bisa maju kena, mundur pun kena,” tutur Politikus Golkar itu.

Sementara Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena menyampaikan, bahwa yang terpenting adalah semua pihak bisa mejalankan protokol kesehatan secara ketat, agar berbagai instrumen kehidupan berjalan dengan aman dan selamat.

“Dalam konteks Pilkada, Kemenkes, KPU, Bawaslu, DPR, Kemendagri, dan pemangku kepentingan terkait telah membahas sampai detil teknis. Tinggal diterjemahkan di lapangan agar mudah dibaca dan dimengerti oleh masyarakat,” ujarnya.

“Dan yang lebih penting, komitmen aggaran harus benar-benar clear. Pengeluarannya jangan dipersulit,” tutur Melki.

Dalam forum yang sama, Ketua Komite I DPD RI Agustin Teras Narang mengatakan pihaknya tidak setuju jika Pilkada dipaksakan saat pandemi Covid-19 masih belum menunjukan tanda-tanda penurunan.

“Kami di DPD RI sepakat menolak pelaksanaan Pilkada pada 2020. Kami lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat,” kata Teras Narang.

Mantan Gubernur Kalimantan Tengah itu juga tidak bisa menerima penjelasan D0R yang membandingkan pelaksanaan Pilkada di Indonesia dengan di luar negeri, seperti di Korea Selatan.

“Perbandingannya tidak apple to apple atau berimbang. Masyarakat Korea Selatan sudah familiar dengan teknologi informasi. Mereka sudah bisa melakukan pemilihan dengan cara e-voting dan email,” ucapnya.

Tak hanya itu, dia juga mengkawatirkan pelaksanaan kampanye dan pemilihan di setiap TPS. Pemerintah hanya mengimbau masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan, sementara tidak ada satu pun instansi dan lembaga yang berani melindungi mereka dari kemungkinan terpapar virus covid-19 dari pelaksanaan pilkada.

“KPU hanya berjanji mau memberikan perlindungan kepada para petugasnya di lapangan, dengan memberikan alat pelindung diri seperti masker, face shield, dan lainnya. Sementara rakyat pemilih yang jumlahnya sekitar 167 juta orang waktu ditanya siapa yang bisa melindungi, tidak ada yang bisa jawab,” tegasnya.

Mantan Politisi PDIP ini menuturkan, kalaupun ada instansi yang mau melindungi pemikih, maka akan membutuhkan dana yang sangat besar untuk membeli alat pelindung diri sesuai protokol kesehatan bagi 167 juta pemilih. 

“Jadi siapa yang melindungi masyarakat ketika para calon dan tim suksesnya berkampanye? Bagaimana juga ketika melakukan pemilihan di setiap TPS?” tanya Teras Narang. [Tp]


Tinggalkan Komentar