telusur.co.id -  Sincia adalah Tahun Baru dalam kalender Tionghoa. Tokoh pengusaha Sutjipto Joe Angga (SJA), mengajak masyarakat Tionghoa yang merayakan Sincia dengan komitmen baru dalam menghormati dan berlaku adil kepada semua orang.

Angga juga menjelaskan, Sincia atau Imlek sebenarnya adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut dengan Chun Jie (春节) yang artinya menyambut musim semi. Musim semi disambut dengan sukacita karena musim dingin akan segera berlalu dan tibalah saat para petani untuk menanam lagi.

"Sincia adalah hari di mana orang-orang Tionghoa bersukaria dan saling menyatakan cinta kasih dengan saling mengunjungi dan saling mendoakan serta saling memberi. Itu masih terpelihara hingga kini di antara masyarakat Tionghoa Indonesia," ucap Bacawali Surabaya ini. Seperti yang dilansir TimesIndonesia. Kamis, (23/1/2020).

Ia mengatakan, budaya perayaan Sincia ada kesamaan dengan Easter. Angga juga merayakan Sincia dengan anggota keluarga yang berbeda agama, ada yang Kristen, Buddha, Hindu, Islam, dan Khonghucu.

"Persis di hari Sincia ini, saya mengajak seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk membuat komitmen baru dalam menghormati dan berlaku adil kepada semua orang. Jika kita saling menghormati dan berlaku adil, maka masyarakat akan sejahtera," tambah Dewan Penasehat Pimpinan Pusat Barisan Pembaharuan (PP BP) tersebut.

Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menurut Angga adalah figur negarawan yang memang tidak bisa lepas dari kebebasan etnis Tionghoa dalam merayakan Tahun Baru Tionghoa atau Sincia di Indonesia.

Gus Dur memiliki peran besar hingga akhirnya etnis Tionghoa dapat merayakan Sincia secara terbuka. Di masa sebelumnya, masyarakat Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terbuka. 

Larangan itu tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. 

"Gus Dur sudah mendemonstrasikan sikap saling menghormati dan berlaku adil bagi semua orang, termasuk suku Tionghoa. Beliau orang besar," ungkap Banteng Lawas ini

Seutuhnya Tionghoa, Seutuhnya Indonesia Angga juga menyatakan, merayakan Sincia adalah praktik netral yang tak terkait agama tertentu, seperti halnya merayakan Tahun Baru Masehi. 

"Sincia bukan milik agama, Sincia itu momen menyambut bulan baru, mulai siap-siap bercocok tanam, dan biasanya ada pertemuan kekeluargaan di meja makan. Lalu ada pemberian hadiah antar-anggota keluarga sebagai ungkapan kasih dan syukur," terang Angga.

Merayakan Sincia bisa dilakukan suku Tionghoa di Indonesia dengan ucapan syukur atas negeri Indonesia, yang di dalamnya orang-orang Tionghoa bisa lahir, besar, berkarya, dan menutup usia. “Kita bisa menjadi seutuhnya Tionghoa sekaligus seutuhnya Indonesia," imbuhnya.

Dia menjelaskan, bahwa seutuhnya Tionghoa berarti secara kelompok suku, orang-orang Tionghoa adalah keturunan orang-orang dari Tiongkok. Seutuhnya Indonesia berarti, secara ideologis dan afeksi, rasa cinta suku Tionghoa adalah sepenuhnya pada Indonesia dan Pancasila. 

"Terlahir sebagai orang Tionghoa adalah ketetapan Tuhan, saya tidak bisa memilih lahir dari keluaga dan suku apa. Tetapi sebagai Pancasilais itu adalah keputusan saya. Saya lahir dan besar di Indonesia, dan saya mencintai negeri ini dengan segenap hati saya. Jadi saya seutuhnya Tionghoa, seutuhnya Indonesia," terang Angga. 

Ia mengimbau agar dalam perayaan Sincia ini bisa menyikapinya dengan komitmen baru dalam menghormati dan berlaku adil kepada semua orang. 

"Apa pun itu suku, agama, dan rasnya. Selamat merayakan Tahun Baru Tionghoa, Tuhan memberkati," tutup SJ Angga.  [Asp]

Laporan : lel/ari