telusur.co.id - Guru Besar Politik Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Masykuri Abdillah mengatakan, pembangunan tempat ibadah di Indonesia masih tergolong mudah. Menurutnya, membangun Gereja di Indonesia dibandingkan membangun Masjid di Amerika Serikat.
Pernyataan ini disampaikan Masykuri saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional berjudul “Koreksi Kebebasan Beragama ala Barat” di Aula Sekolah Pascasarjana (SPS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (29/6/22).
Selain Masykuri, seminar ini juga diisi oleh dua narasumber lainnya yaitu Dr Dina Yulianti Sulaeman dari Universitas Padjajaran Bandung dan Muhammad Azis dari Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Kemudian seminar nasional diberikan pengantar oleh Prof Asep Jahar selaku direktur SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pengantarnya, Asep Jahar mengatakan bahwa kebebasan beragama secara prinsip harus memberikan keadilan sebagaimana amanah dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Indonesia, telah memiliki wadah yang cukup baik dalam praktik kebebasan beragama dalam wadah Pancasila.
Terkait isu-isu kebebasan beragama, Masykuri melihat sejumlah keluhan yang sering didengar antara lain keluhan diskriminasi dari sebagian kelompok agama minoritas Kristen dan Katolik. Ada dari mereka yang mengaku kesulitan untuk mendirikan tempat ibadah.
Namun pada kenyataannya, data jumlah Gereja di Indonesia ini terbanyak ketiga setelah Amerika dan Brazil.
“Jadi coba barat melihat datanya jangan hanya satu pintu dari laporan LSM saja, tetapi harus dari laporan-laporan pembanding yang lainnya,” kata penulis “Islam Agama Kedamaian” ini.
Pada faktanya, kata Masykuri, saat ini seolah-olah masyarakat Muslim atau negara-negara yang mayoritas Muslim sebagai pelaku anti kebebasan beragama. Namun ditegaskannya, anggapan tersebut sama sekali tidak benar.
"Jadi hal ini tidak benar,” tegasnya.
Sementara itu, Dina Sulaeman mengatakan bahwa konsep kebebasan beragama yang dilakukan barat dalam hal ini Amerika menjadi bagian dari projek demokrasi liberal yang dipaksakan. "Sekaligus satu paket dengan penyebaran ekonomi liberalnya yang dipaksa ke negara-negara lain," ucapnya.
Kemudian, Muhammad Azis mengatakan, jika melihat data-data secara keseluruhan, diskriminasi di barat jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang berkembang. (Tp)