Telusur.co.id -Oleh: Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan
Integritas. Kata yang makin memudar di tengah derasnya berita korupsi. Namun, ada satu nama yang sinarnya tak pernah padam: Mohammad Hatta. Ia bukan hanya proklamator kemerdekaan, tetapi juga simbol kejujuran yang jarang ditemukan. Keteladanannya bukan sekadar cerita sejarah, melainkan cermin untuk menilai keadaan bangsa hari ini.
Bayangkan, saat kekuasaan mampu menggoda siapa pun, Hatta justru menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun. Kisah paling masyhur adalah ketika ia mengembalikan sisa uang perjalanan dinasnya. Baginya, dana itu bukan hak pribadi, melainkan milik negara yang harus dikelola dengan amanah. Ia bahkan menolak hadiah mewah dari pengusaha yang berusaha mendekatinya. Prinsipnya sederhana: jabatan adalah pengabdian, bukan sarana memperkaya diri.
Jika dulu sikap ini terlihat biasa, kini, di era pejabat publik kerap terjebak gaya hidup berlebihan, integritas Hatta ibarat permata yang amat langka. Kisahnya menjadi teguran sekaligus inspirasi: bukan soal jumlah uang yang dikembalikan, tetapi tentang fondasi moral yang ditegakkan. Kejujuran adalah harta paling berharga bagi sebuah bangsa.
Di tengah gemerlap jabatan, banyak pemimpin larut dalam kemewahan. Hatta justru hadir sebagai kebalikannya: hidup sederhana, bahkan ketika menjabat posisi tertinggi di negeri ini. Kesederhanaan itu bukan sekadar pencitraan, melainkan prinsip hidup yang melekat.
Sebagai wakil presiden pertama, ia enggan menikmati fasilitas mewah. Ia hanya mengenakan jas dan peci sederhana, bahkan tak segan memakai sepatu lama. Sikap ini menunjukkan bahwa kekuasaan baginya bukan panggung untuk bermegah-megahan, melainkan amanah yang harus ditunaikan.
Kini, ketika publik sering disuguhi pemandangan pejabat dengan mobil mewah atau barang bermerek, kesederhanaan Hatta terasa sebagai peringatan keras. Ia membuktikan martabat pemimpin tidak diukur dari kekayaan, melainkan dari ketulusan pengabdian. Kekuasaan sejati lahir dari hati yang tulus melayani.
Perjuangan Hatta tak hanya soal politik, tetapi juga tentang kemandirian ekonomi. Visi beliau tegas: Indonesia tak boleh dikuasai segelintir pemodal atau tunduk pada kepentingan asing. Karena itu, ia dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Menurut Hatta, koperasi adalah tiang ekonomi nasional, berlandaskan asas kekeluargaan dan gotong royong. Dalam koperasi, semua anggota adalah pemilik sekaligus pengguna layanan. Keuntungan dibagi bersama, bukan dinikmati elite tertentu. Ia menolak keras kapitalisme liberal yang hanya memperlebar jurang kaya–miskin.
Kini, di tengah dominasi pasar bebas dan meningkatnya kesenjangan sosial, gagasan Hatta terasa semakin relevan. Koperasi menawarkan jalan keluar: ekonomi yang adil, tumbuh dari bawah, dan memberdayakan rakyat. Visi ini mengingatkan kita bahwa pembangunan ekonomi sejati bukan sekadar angka pertumbuhan, melainkan kesejahteraan merata dan kedaulatan nasional.
Hatta adalah sosok negarawan sekaligus intelektual sejati. Baginya, kemerdekaan bukan hanya lahir dari senjata, tetapi juga dari pemikiran dan ilmu pengetahuan.
Meski sibuk dengan perjuangan, perundingan, dan pemerintahan, ia tak pernah berhenti membaca dan menulis. Ia adalah pembelajar sepanjang hayat. Kecintaannya pada buku membentuk gagasan-gagasan visioner, mulai dari ekonomi kerakyatan hingga pandangan politiknya semua lahir dari analisis mendalam, bukan sekadar ambisi kekuasaan.
Di era banjir informasi dangkal seperti sekarang, teladan ini sangat penting. Hatta mengingatkan bahwa seorang pemimpin, bahkan setiap warga negara, harus haus ilmu. Dedikasi intelektual adalah fondasi kebijakan bijaksana dan pembangunan berkelanjutan. Ia membuktikan bahwa pemimpin sejati harus juga seorang pemikir.
Hatta bukan sekadar proklamator. Ia adalah sosok yang memadukan integritas, kesederhanaan, visi ekonomi kerakyatan, dan kecintaan pada ilmu. Nilai-nilai ini bukan catatan usang, melainkan kompas moral yang amat kita perlukan hari ini.
Di tengah krisis moral dan jurang sosial-ekonomi, teladan Hatta memberi arah. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan sarana melayani; bahwa kejujuran dan kesederhanaan adalah dasar kepemimpinan; bahwa kemakmuran sejati harus dirasakan semua rakyat.
Karena itu, mari tidak berhenti mengagumi, tetapi juga meneladani. Jadikan integritas Hatta sebagai ukuran, kesederhanaannya sebagai cermin, dan visinya sebagai penuntun. Sebab kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan oleh gedung-gedung tinggi, tetapi oleh karakter kuat pemimpin dan rakyatnya. Kisah Hatta adalah pengingat: untuk menjadi bangsa besar, kita harus kembali pada nilai-nilai dasar.