telusur.co.id - Presiden Prabowo Subianto diminta mengantisipasi dampak penggunan senjata nuklir dalam perang Rusia-Ukraina dan kawasan Timur Tengah terhadap kepentingan Indonesia.
Menurut Anggota Dewan Pengarah Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Rohadi Awaludin, Indonesia perlu memiliki sistem kedaruratan nuklir nasional dengan melibatkan dan mengaktifkan seluruh lembaga ketenaganukliran yang ada. Hal ini untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk penggunaam nuklir dalam perang di beberapa kawasan.
"Presiden Rusia, Vladimir Putin menandatangani doktrin nuklir Rusia yang baru pada Selasa 19 November 2024 lalu. Doktrin tersebut dinamakan Prinsip Dasar Kebijakan Negara Federasi Rusia tentang Pencegahan Nuklir (the Basic Principles of State Policy of the Russian Federation on Nuclear Deterrence)," kata Rohadi dalam keterangannya, Selasa (26/11/24).
Rohadi menjelaskan, doktrin nuklir Rusia itu menguraikan kondisi ancaman-ancaman yang dapat dibalas dengan penggunaan senjata nuklir. Salah satunya adalah ancaman penggunaan senjata konvensional yang menimbulkan ancaman kritis terhadap kedaulatan dan/atau integritas territorial.
"Menanggapi hal tersebut Indonesia harus siap mengantisipasi kemungkinan terburuknya," kata Rohadi.
Rohadi menyebut, doktrin baru yang dikeluarkan Putin dapat memicu kekhawatiran internasional akan pecahnya perang nuklir di tengah berkecamuknya perang Rusia-Ukraina.
Oleh sebab itu, Indonesia perlu memastikan kembali sistem kedaruratan nuklir nasional guna mengantisipasi seandainya kondisi tidak diharapkan tersebut benar benar terjadi.
Rohadi menerangkan, pada dasawarsa 1950-an, dilakukan uji coba senjata nuklir besar-besaran di Kawasan Pasifik. Mengantisipasi dampak hal tersebut bagi wilayah Indonesia, saat itu Presiden Soekarno membentuk Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet dan selanjutnya membentuk Lembaga Tenaga Atom yang merupakan cikal bakal Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) pada tahun 1958.
"Panitia negara tersebut dipimpin oleh Prof. GA Siwabessy yang selanjutnya menjadi Kapala BATAN yang pertama. Pembentukan BATAN sebagai lembaga khusus nuklir tidak terlepas dari tujuan nasional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari bahaya kenukliran internasional," terang mantan Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir ini.
Rohadi melanjutkan, tahun 1997 disahkan Undang-Undang No 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran. Berdasarkan UU tersebut, lembaga pemerintah di bidang nuklir menjadi 2 lembaga, yaitu Badan Pengawas dan Badan Pelaksana Ketenaganukliran. Badan pengawas adalah BAPETEN sedangkan Badan Pelaksana adalah BATAN.
Dalam sistem kedaruratan nuklir nasional, BAPETEN sebagai Badan Pengawas ketenaganukliran berada di garda depan dengan dukungan teknis dari BATAN. Struktur organisasi BATAN pun telah disusun dengan mempertimbangkan kemampuan teknis yang cepat untuk melakukan identifikasi dan menyusun langkah langkah mitigasi bahaya kenukliran jika terjadi bahaya nuklir di tingkat internasional.
"Kecepatan sangat diperlukan dalam merespon kondisi darurat. Oleh sebab itu BATAN sebagai Badan Pelaksana Ketenaganukliran yang mandiri dan lincah perlu segera dibentuk kembali sebagai bagian dari penguatan sistem kedaruratan nuklir nasional," tandas Rohadi.[Fhr]