telusur.co.id - Pencarian jati diri manusia berjalan sepanjang hidupnya, namun yang paling berdampak ialah pada saat usia remaja. Akhir-akhir ini, muncul tren pemikiran bahwa ‘sekolah itu tidak penting, lebih baik bermain kripto’ di kalangan remaja Indonesia, terutama di media sosial seperti TikTok dan Instagram.
Hal itu tak luput dari sorotan Psikolog UNAIR sekaligus Dosen Psikologi Media, Dr. Rakhman Ardi, M.Psych. Menurutnya, pemikiran tersebut tidaklah wajar bagi remaja.
“Pemikiran seperti itu bukan sesuatu yang bisa kita anggap wajar. Tapi, mesti dipahami bahwa, itu adalah fase di mana mereka memang mencari jati diri. Berusaha punya hidup yang jauh lebih mandiri,” jelas Ardi kepada Unair News. Senin, (29/4/2024).
Pencarian Jati Diri
Usia remaja menjadi rentan waktu manusia gencar-gencarnya dalam mencari identitas diri mereka. Berusaha memahami diri sendiri, mencari siapa ‘aku’ dalam hidupnya. Bagaimana cara mereka dapat hidup lebih mandiri di masyarakat. Salah satu sumber pencarian jati diri pada remaja.
“Mereka kan berusaha untuk memahami tentang dirinya sendiri dan juga apa yang bisa dilakukan di masyarakat. Jadi, kemudian mereka punya satu tokoh idola yang dianggap sebagai satu sumber penginspirasi yang utama dalam pencarian jati diri,” tambahnya.
Di sisi lain, pencarian jati diri tersebut belum didukung dengan kematangan emosional dan kematangan kognitif. Akibatnya, apa yang keluar dari lidah idola, mereka telan mentah-mentah. Hal itu yang menjadi penyebab munculnya tren bahwa sekolah itu tidak penting.
“Kematangan emosional, kematangan kognitif, dan pengalaman hidup juga masih belum banyak dia rasakan. Termasuk kegagalan, krisis, dan lain sebagainya. Padahal kan orang itu matang karena krisis dan kegagalan,” bebernya.
“Kemudian, mereka mengidentifikasi bahwa ada satu tokoh atau idola yang ada di YouTube atau ada di TikTok bisa dianggap sebagai bagian bahwa ini identitasku yang kayak gini,” sebut Dr Ardi.
Faktor Penyebab
Pemikiran sekolah tidak penting merupakan hasil dari terlalu banyaknya media sosial yang para remaja konsumsi. Ketika mereka mengonsumsi tanpa adanya kontrol dan pengawasan orang tua, maka kontrol normatif juga tidak terbentuk.
Namun, ada tipikal remaja yang punya keseimbangan dalam pencarian identitasnya. Jadi, mereka tidak mudah terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh idola mereka. Mereka punya faktor protektif berupa literasi digital, di mana perlu adanya cross check dalam setiap informasi yang mereka terima.
“Remaja-remaja yang sekiranya punya literasi itu yang kemudian akan jadi jauh lebih punya faktor protektif untuk bisa mengantisipasi yang seperti begitu tadi. Tapi, kalau seandainya remajanya nggak punya literasi digital, bisa jadi ya kemudian mereka jadi orang yang cukup rentan untuk hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh idolanya,” tukasnya.
Salah satu penyebab lainnya adalah keluarga yang tidak harmonis. Keluarga yang tidak harmonis menyebabkan remaja untuk mencari referensi atau role model di luar, bukan pada keluarganya sendiri. Selain itu, keluarga yang tidak harmonis juga tidak dapat memberikan faktor protektif dalam pencarian jati diri para remaja.
Yang Perlu Dilakukan
Dengan segala kemudahan informasi di era internet ini, Dr Ardi berpendapat bahwa, perlu adanya pendekatan sistemik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yang dimaksud adalah dengan pengadaan kurikulum belajar di mana mengenalkan kepada khalayak umum tentang risiko apa yang ada dalam internet.
“Dalam artian memang anak dari usia SD itu mesti diperkenalkan dengan tidak hanya digital profisiensi atau tahu cara pakai teknologi digital. Tapi, juga dia tahu bagaimana cara kerja dari informasi, cara kerja dari teknologi yang dia gunakan itu kayak gimana. Gimana dampaknya terhadap dia. Dan, gimana dampaknya terhadap orang lain,” tegasnya.
Solusi internal yang Dr Ardi berikan adalah ciptakan keluarga yang harmonis, sehingga membentuk faktor protektif pada remaja yang sedang mencari identitas diri mereka.
“Pencarian jati diri itu pasti akan terjadi. Kita akan mencari membanding bagaimana kebenaran di luar dan lain sebagainya, tapi kalau di rumah bisa memberikan kenyamanan itu berarti pencarian jati dirinya jadi jauh lebih bisa terkontrol dan jauh lebih mantap,” tutup Ardi. (ari)