TikTok, Dopamin, dan Generasi yang Kehilangan Fokus - Telusur

TikTok, Dopamin, dan Generasi yang Kehilangan Fokus


Telusur.co.id -Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan

Pernahkah kita merasa lebih betah berlama-lama menonton video di TikTok daripada membuka buku atau mengikuti kursus daring yang panjang? Sebagian orang mungkin langsung menghakimi: “Itu tanda kemalasan!” Padahal jika kita telisik lebih dalam, ada mekanisme halus dalam otak kita yang ikut berperan, yakni dopamin. Selama ini dopamin sering disalahpahami sebagai “hormon bahagia”.

Padahal, dopamin bukan semata membuat kita senang, melainkan neurotransmitter yang bertugas memberi dorongan, semacam bahan bakar motivasi yang membuat kita ingin bergerak, mencari, dan mencoba hal baru.

Kekurangan dopamin bisa membuat seseorang kehilangan semangat hidup, mudah putus asa, bahkan gejalanya mirip depresi. Sebaliknya, jika kadarnya terlalu sering dipicu oleh hiburan instan, otak bisa terbiasa dengan pola cepat bosan, sulit fokus, dan merasa hampa ketika tidak ada rangsangan.

Di era media sosial, TikTok sering disebut sebagai “mesin dopamin.” Video singkat yang lucu, mengejutkan, atau menyentuh emosi membuat otak kita langsung mendapat suntikan dopamin hanya dalam hitungan detik. Itulah sebabnya banyak orang bisa betah scroll dua jam tanpa terasa.

Otak mendapatkan reward cepat, dopamin naik, lalu turun kembali, lalu kita terdorong mencari video berikutnya demi memulihkan sensasi itu. Pola ini seperti siklus kecil yang terus berulang: rangsangan, kepuasan sesaat, lalu kekosongan. Semakin sering diulang, semakin kuat otak terlatih hanya mengejar kepuasan jangka pendek.

Namun, apakah artinya semua yang kita dapatkan dari TikTok hanya sekadar hiburan receh? Tidak selalu. Di antara ribuan video singkat, ada pula konten edukatif yang justru mengarahkan dopamin kita ke hal yang lebih bermakna.

Banyak anak muda yang belajar bahasa Inggris dengan gaya British accent, ada yang belajar manajemen keuangan, ada pula yang mendapat wawasan baru tentang saham dan investasi. Sama-sama memicu dopamin, tetapi nilainya berbeda: yang satu berhenti pada tawa sesaat, yang lain membuka jalur pengetahuan baru dalam otak.

Dengan kata lain, persoalan mendasar bukanlah pada medianya, melainkan pada arah energi dopamin itu sendiri.

Seorang remaja bisa tahan menonton TikTok dua jam, tetapi malas membuka buku atau berdiskusi serius. Itu bukan karena dia tidak punya motivasi, melainkan karena motivasinya tersalurkan ke jalur instan. Ia terbiasa dengan reward cepat: satu menit menonton, tertawa atau terkesan, lalu dopamin naik. Sebaliknya, belajar dari buku atau kursus panjang membutuhkan kesabaran.

Harus membaca belasan halaman dulu, baru kemudian muncul rasa paham. Reward tertunda semacam ini sering kalah oleh godaan reward instan yang mudah diakses di layar gawai. Tidak heran jika banyak orang muda tampak kurang sabar menghadapi proses panjang, padahal sebenarnya otak mereka sedang dilatih oleh media digital untuk terus mencari kepuasan cepat.

Fenomena ini juga tercermin dalam keseharian orang dewasa. Ada yang rajin nongkrong di mal, duduk berjam-jam di kafe sambil menikmati suasana, tetapi merasa malas ketika diminta menghadiri pertemuan keluarga atau kegiatan sosial.

Bagi otak, pemandangan baru, musik, aroma kopi, bahkan interaksi singkat dengan orang asing bisa menjadi pemicu dopamin. Tidak ada yang salah, selama kita menyadari mekanismenya. Masalah baru muncul ketika keseimbangan hilang.

Jika otak terlalu terbiasa dengan lonjakan dopamin instan, aktivitas lain yang lebih bermakna terasa membosankan. Maka muncullah generasi yang seolah-olah malas, padahal mereka hanya terseret arus dopamin yang salah arah.

Jalan keluarnya bukan dengan memusuhi dopamin, melainkan dengan menyeimbangkannya. Kita bisa mulai mengarahkan energi dopamin ke aktivitas yang membutuhkan usaha lebih, tetapi memberi hasil jangka panjang: berolahraga, membaca buku, belajar bahasa, atau mengerjakan proyek kreatif. Reward-nya mungkin tidak datang seketika, tetapi justru di situlah kekuatannya.

Otak akan belajar bahwa kepuasan sejati lahir dari proses, bukan sekadar sensasi singkat. Latihan kecil bisa sangat membantu, misalnya membatasi waktu scroll media sosial lalu menyisipkan rutinitas lain yang memberi rasa pencapaian. Selesai satu bab buku, memahami satu konsep baru, atau sekadar merapikan meja kerja bisa menghadirkan suntikan dopamin yang sehat. Dengan cara itu, dopamin tidak habis dikuras oleh hal-hal instan, melainkan diarahkan untuk menopang kehidupan yang lebih bermakna.

Hal lain yang perlu kita sadari adalah dampak sosial dari pola dopamin ini. Ketika sebuah generasi terlalu terbiasa dengan kepuasan instan, mereka bisa menjadi lebih mudah gelisah, lebih cepat kehilangan fokus, dan kesulitan mengembangkan daya tahan dalam menghadapi tantangan hidup yang nyata. Padahal kehidupan sejati jarang menawarkan kepuasan cepat.

Pekerjaan, pendidikan, relasi sosial, semuanya menuntut kesabaran, konsistensi, dan proses yang panjang. Jika kita tidak membiasakan otak untuk menikmati reward tertunda, kita akan mudah menyerah ketika berhadapan dengan kesulitan nyata. Dari sinilah kita melihat pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga melatih kesabaran dalam proses belajar, serta kebijakan publik yang memperhatikan kesehatan digital generasi muda.

Pada akhirnya, dopamin memang denyut kehidupan. Tanpanya kita tidak akan bersemangat mengejar apa pun. Namun dengan kendali yang bijak, dopamin bisa menjadi sahabat yang menuntun kita, bukan musuh yang menyeret kita dalam lingkaran tanpa akhir.

Hidup sehat di era digital bukan berarti bebas dari dopamin, melainkan belajar mengatur arusnya: dari hiburan sesaat menuju pencapaian yang lebih dalam. Di situlah kita menemukan keseimbangan antara dunia digital yang serba cepat dengan kehidupan nyata yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan makna yang lebih panjang.


Tinggalkan Komentar