Value-Income Investing: Jalan Tengah Investor Ritel - Telusur

Value-Income Investing: Jalan Tengah Investor Ritel


Telusur.co.id -Oleh: Rusydi Umar, Dosen Fakultas Teknologi Industri, Universitas Ahmad Dahlan.

Banyak orang menyebut Benjamin Graham sebagai Bapak Value Investing. Rumusnya sederhana: carilah saham perusahaan bagus, beli ketika harganya murah, lalu biarkan waktu bekerja. Muridnya, Warren Buffett, bahkan melanjutkan dengan cara lebih ekstrem. Ia membeli bisnis berkualitas, lalu menyimpannya seumur hidup, tidak peduli harga naik atau turun.

Filosofi itu terbukti menghasilkan kekayaan besar. Tetapi, tidak semua orang punya kesabaran dan modal sebesar Buffett. Investor ritel di Indonesia sering kali butuh pendekatan yang lebih realistis, yang tetap berpegang pada fundamental tetapi memberi ruang untuk bertumbuh lebih cepat. Dari situlah saya merumuskan apa yang saya sebut sebagai Value-Income Investing, dengan strategi rotasi dan average down.

Bagi saya, dividen bukan sekadar bonus tahunan. Ia adalah sumber ketenangan di tengah harga saham yang naik-turun tak menentu. Setiap kali dividen masuk ke rekening, ada rasa aman: uang benar-benar bekerja untuk kita. Karena itu, langkah pertama saya selalu mencari perusahaan yang rajin membagikan dividen dan punya catatan keuangan sehat. Saya tidak hanya melihat apakah produknya terkenal, tetapi juga bagaimana arus kasnya, utangnya, dan konsistensi manajemennya. Bila semua itu baik, barulah saya berani masuk, meski kadang harga saham sedang mahal. Porsi awal memang lebih kecil, tetapi penting untuk punya posisi. Tanpa keberanian itu, kita hanya akan jadi penonton, sementara harga bisa saja lebih tinggi di tahun depan.

Pertanyaan yang sering muncul: bagaimana jika harga malah jatuh setelah membeli? Inilah saat average down bekerja. Bila penurunannya kecil, biasanya saya biarkan saja. Namun, bila turun lebih dari 10 persen, justru itu saya anggap kesempatan untuk menambah kepemilikan. Dengan average down, harga rata-rata pembelian menjadi lebih rendah, sehingga ruang pengaman semakin besar. Strategi ini tentu tidak dilakukan pada semua saham, hanya pada perusahaan yang benar-benar sehat. Jadi, bukan sekadar menambah kerugian, tetapi menambah kepemilikan di harga diskon.

Ada satu lagi yang membuat strategi ini berbeda dengan value investing klasik: rotasi. Investor klasik cenderung menahan saham puluhan tahun. Saya lebih luwes. Bila keuntungan dari kenaikan harga sudah lebih besar dari dividen yang mungkin akan diterima misalnya dividen 10 persen tetapi harga sudah naik 15 persen—saya lebih memilih menjual, lalu memindahkan modal ke saham lain yang sedang diskon. Dengan begitu, modal berputar lebih cepat. Jumlah lot pun bisa bertambah, meski tanpa tambahan dana baru. Rasanya seperti memindahkan energi dari satu peluang ke peluang lain, tanpa kehilangan fokus pada kualitas.

Tentu saja, semua ini membutuhkan disiplin. Tidak semua saham layak dibeli, apalagi ditambah ketika jatuh. Dividen besar, tapi tidak berkelanjutan, bisa jadi jebakan. Karena itu, analisis fundamental tetap harus menjadi fondasi. Strategi rotasi dan average down hanya akan bekerja bila didasari pemilihan perusahaan yang tepat. Namun, bila dijalankan dengan konsisten, saya percaya pendekatan ini memberi keseimbangan: kita tetap tenang menikmati dividen, sekaligus aktif memutar modal saat peluang datang.

Saya tidak pernah mengklaim strategi ini lebih hebat daripada Graham atau Buffett. Mereka sudah terbukti di level global. Saya hanya mencoba menyesuaikan dengan kenyataan investor ritel Indonesia, yang modalnya terbatas dan tidak selalu bisa menunggu puluhan tahun. Value-Income Investing ini adalah jalan tengah: tetap berpegang pada fundamental, menjadikan dividen sebagai tulang punggung, tetapi juga memberi ruang untuk lincah bergerak.

Di pasar modal, setiap orang punya jalannya sendiri. Ada yang nyaman jadi trader harian, ada yang teguh memegang value investing murni. Saya memilih jalur ini karena memberi rasa seimbang: ada kesabaran, ada keaktifan, ada kepastian dividen, ada peluang rotasi. Pada akhirnya, tujuan kita sama, yakni membuat uang bekerja untuk kita, bukan sebaliknya. Dan kalau ada strategi yang bisa membuat jumlah lot bertambah tanpa perlu menyetor dana baru, bukankah itu impian setiap investor?


Tinggalkan Komentar