telusur.co.id - Perlu peningkatan literasi kesehatan dan intervensi kebijakan perlindungan untuk mencegah anak-anak dari ancaman diabetes.
"Pola hidup yang kurang sehat dengan konsumsi makanan dan minuman yang memiliki kandungan gula tinggi saat ini menjadi rutinitas kehidupan anak-anak. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat memberi sambutan pada diskusi daring bertema Ancaman Diabetes Melitus pada Anak-Anak Indonesia Sangat Mencemaskan, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/7).
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan dr. Esti Widiastuti, MScPH (Ketua Tim Kerja Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Kementerian Kesehatan RI), Dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) (Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia/IDAI) dan dr. Mulianah Daya, M.Gizi, Sp.GK ,AIFO-K (Dokter Spesialis Gizi Klinik), sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Felly Estelita Runtuwene (Ketua Komisi IX DPR RI) dan Diah Satyani Saminarsih (Founder & Chief Executive Officer Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives /CISDI) sebagai penanggap.
Apalagi, ujar Lestari, data IDAI mencatat kejadian diabetes melitus (DM) terhadap anak saat ini meningkat dua kali.
Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, kita tidak boleh menutup mata terhadap fenomena itu.
Karena, tambah dia, DM terhadap anak bukan sekadar ancaman kesehatan saja, anak-anak adalah masa depan kita untuk melanjutkan kehidupan bangsa Indonesia.
Belum tuntas dengan masalah stunting, ujar Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, kita dihadapkan pada pola hidup yang mengancam anak dengan DM.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem mengakui Indonesia belum memiliki kebijakan perlindungan yang menyeluruh terkait penerapan pola hidup sehat sejak dini.
Rerie menegaskan, dengan memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anak, seperti ancaman DM ini, sejatinya kita sedang berupaya memperbaiki masa depan bangsa ke arah yang lebih baik.
Karena itu, ujar dia, kita harus bersama-sama mendorong berbagai langkah antisipatif hingga solusi untuk mencegah dan mengatasi ancaman DM terhadap anak di Indonesia.
Ketua Tim Kerja Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik, Kementerian Kesehatan RI, dr. Esti Widiastuti, MScPH mengungkapkan prevalensi DM pada rentang 2013-2022 meningkat drastis.
Pada 2021, tambah Esti, tercatat 6,7 juta orang meninggal karena menderita diabetes. Pada tahun yang sama 1,2 juta anak menderita diabetes tipe 1.
Esti mengungkapkan faktor risiko penyebab DM sangat erat dengan gaya hidup. Dia memperkirakan jumlah penderita DM tipe 1 di Indonesia bisa jadi lebih tinggi dari yang tercatat, karena rendahnya upaya deteksi dini sehingga tidak terdiagnosa.
Secara keseluruhan, ujar Esti, biaya pelayanan kesehatan terkait DM dan sejumlah penyakit yang dipicunya seperti stroke, jantung dan kanker di Indonesia pada 2019 tercatat lebih dari Rp8 triliun.
Pemerintah, ujar Esti, sudah melakukan transformasi sistem kesehatan yang salah satunya berupa transformasi layanan primer yang mengedepankan upaya preventif dan promotif, diharapkan masyarakat sebagai salah satu ujung tombak dalam pelaksanaannya.
Berbagai upaya peningkatan aktivitas fisik, edukasi terkait pola hidup sehat, dan deteksi dini berupa pemeriksaan berat badan, tekanan darah, test kadar gula dalam darah, ujar Esti, dilakukan dalam mengedepankan langkah preventif dan promotif.
Ketua Umum IDAI, Dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) mengungkapkan data IDAI mencatat penderita DM tipe 2 meningkat sampai 3% dan 77% di antaranya adalah anak-anak yang obesitas.
Menurut Piprim, penderita DM tipe 2 di masa lalu adalah orang berusia 40 tahun ke atas. Namun saat ini DM tipe 2 ini sudah diderita oleh anak berusia 6-7 tahun. "Ini harus diwaspadai. Ini indikasi gaya hidup masyarakat kita yang tidak sehat," ujarnya.
Selain karena gaya hidup, tambah dia, konsumsi ultra processed food dengan glycemic index yang tinggi juga merupakan pemicu DM tipe 2. Apalagi, tegas Piprim, rasa manis yang ditimbulkan sangat adiktif.
"Kondisi ini merupakan wake up call bagi kita semua. Karena, satu dari delapan penduduk Indonesia menderita DM dan 80% penderita itu tidak sadar kalau mereka menderita DM," tegas Piprim. Pemerintah, tambahnya, harus hadir untuk mengendalikan makanan yang tidak sehat.
Spesialis Gizi Klinik, dr. Mulianah Daya, M.Gizi, Sp.GK ,AIFO-K mengungkapkan, dampak meningkatnya jumlah penderita DM mengurangi angka harapan hidup suatu bangsa sekitar 5-10 tahun dan menjadi beban sosial ekonomi.
Bila ada upaya deteksi dini, ujar Mulianah, kondisi tersebut bisa dicegah. Peran orang tua dan keluarga sangat signifikan untuk membatasi pola asupan anak-anaknya.
Mulianah mengungkapkan berdasarkan rekomendasi WHO batasan konsumsi gula yang disarankan adalah 5-10% dari total asupan energi per orang per hari.
Diakuinya saat ini di Indonesia akses makanan sehat belum terjangkau oleh masyarakat, baik dari sisi literasi maupun dari sisi daya beli. "Konsumen belum sepenuhnya memahami informasi pada label makanan dan harga apel belum terjangkau masyarakat luas," ujarnya.
Founder & Chief Executive Officer CISDI, Diah Satyani Saminarsih kondisi DM di tanah air dapat dikritisi melalui tiga hal yaitu data, kebijakan secara umum dan masyarakat yang terdampak.
Saat ini, ujar Diah, Indonesia tidak kekurangan data tentang DM. Bila masyarakat punya literasi tentang DM yang baik, tambahnya, melalui sosialisasi yang masif pasti bisa diatasi.
Kebijakan kesehatan dengan menerapkan layanan kesehatan primer melakukan skrining, dalam upaya pencegahan DM, ujar Diah, harus melakukan sejumlah upaya transformasi dulu.
Karena, tegas Diah, kebijakan di sektor kesehatan juga harus sejalan dengan kebijakan di sektor lain. Terkait tingginya prevalensi DM, tambahnya, karena terjadi penerapan kebijakan yang bertolak belakang antara kebijakan kesehatan dan kebijakan perdagangan dan industri.
Menurut Diah, penegakan hukum terhadap food labeling harus konsisten, untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang sehat.
Wartawan senior Saur Hutabarat mengungkapkan Singapura adalah contoh bangsa yang sangat parah terhadap konsumsi gula.
Pemerintah Singapura pun, tambah Saur, menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap kadar gula di dalam makanan dan minuman.
Hal yang sama, menurut Saur, patut dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan peraturan yang sangat keras dan ketat dijaga agar kadar gula makanan dan minuman sesuai dengan ketentuan kesehatan.
"Jadi diperlukan penetrasi negara, pemerintah yang sangat konsisten untuk menegakkan peraturan itu," tegasnya.