Oleh : Firman Syah Ali (Aktivis '98)
Saya repot mau memulai tulisan ini dari mana? Sebab ketika saya bersuara lantang pasti ujung-ujungnya orang akan komentar "wajar dia bersuara lantang karena pamannya kalah Pilpres". Tapi teman-teman seangkatan saya pasti tau bahwa, saya memang selalu lantang menolak praetorianisme Orde Baru sejak masih pelajar hingga puncaknya saat saya kuliah S1. Bisa dikatakan ruang kelas kuliah saat itu saya anggap tempat kursus, karena kuliah saya yang sebenarnya ada di jalanan, yaitu diskusi-diskusi trotoar dan unjuk rasa melawan sepatu lars dan mendesak mereka kembali ke barak.
Ujung perlawanan saya waktu itu adalah saat saya mengajukan judul skripsi "Reposisi dan Reorganisasi ABRI Dalam Perspektif Sosio-Yuridis". Dosen penguji saya mengaku terus terang takut untuk segera memulai ujian, beliau tunda-tunda terus hingga Presiden Soeharto benar-benar lengser.
Apa saya benci TNI? Mustahil saya benci TNI karena di dalam tubuh saya mengalir darah TNI. Buyut-buyut saya adalah pimpinan hizbullah sabilillah, sedangkan hizbullah sabilillah merupakan salah satu cikal bakal TNI selain KNIL dan PETA. Kakek saya adalah TNI. Justru karena cinta TNI, saya berjuang mengembalikan TNI jadi tentara profesional. Dengan kembalinya profesionalisme TNI maka negara akan kuat dan nama TNI akan harum sepanjang masa.
Pada zaman Orde Baru, prajurit TNI adalah telah menjadi prajurit-prajurit praetorian yang mengambil penuh peranan sipil dalam politik. Praetorianisme Orde Baru ini dikemas dalam konsep Dwifungsi ABRI dan demokrasi model begini mereka kemas dalam istilah Demokrasi Pancasila. Saat itu bisa dikatakan dari Presiden hingga Lurah berasal dari TNI, baik TNI aktif maupun purna, walau tentu saja tidak semuanya.
Sejarah telah mencatat era tersebut sebagai era "Indonesia Gelap" karena penuh teror terhadap kebebasan bersuara, berkumpul dan berserikat. Supremasi sipil sama sekali tidak ada, bahkan semua urusan yang bersifat sepele disebut "ah itu gampang, sipil sekali kalau hanya urusan itu".
Masyarakat sangat takut untuk bersuara, khawatir dihilangkan. Nyawa aktivis sama sekali tidak ada harganya. Gelap segelap-gelapnya. Namun di tengah kegelapan pasti ada titik-titik cahaya walaupun kecil. Itulah para pemberani yang konsisten mengajak masyarakat untuk mengembalikan militer ke barak, yang kemudian menjadi salah satu agenda gerakan besar reformasi '98.
Alhamdulillah gerakan reformasi berhasil dan militer betul-betul kembali ke barak. Era reformasi yang ditandai dengan supremasi sipil telah berhasil mengharumkan kembali nama TNI tercinta sebagai prajurit profesional. Kebebasan pers betul-betul sempurna, LSM tumbuh subur, civil society kuat, parpol dan ormas kuat, inilah era yang dicita-citakan oleh para pejuang reformasi '98.
Namun seiring berjalannya waktu sipil menjadi selfish dan korup yang berujung pada semakin menurunnya kualitas demokrasi, sampai tiba-tiba pada sebuah siang bolong bergulir kembali dwifungsi militer bahkan bisa disebut multi fungsi.
Kini multi fungsi tersebut hendak dilegalkan dalam rencana revisi Undang-undang TNI yang sepertinya akan berjalan mulus di DPR. Kenapa mulus? Padahal DPR-nya kan DPR era reformasi yang sipil murni, tidak ada fraksi ABRI sebagaimana DPR era Orde Baru? Ya tentu saja karena sipilnya saat ini sudah tidak peduli lagi dengan bahaya laten kembalinya dwi fungsi ABRI, mereka hanya peduli dengan sesuatu yang lain, yang semua orang tau. Kita khawatir supremasi sipil akan tewas di tangan politisi sipil.
Tapi di tengah kegelapan asa kita terhadap DPR yang terhormat, masih ada secercah sinar, yaitu kekuatan mahasiswa. Walaupun mahasiswa saat ini tidak merasakan kebrutalan Orde Baru dalam menindas kebebasan sipil, namun bukankah senior-senior mereka merasakannya? Bukankah senior-senior mereka telah bercerita panjang lebar tentang penderitaan mahasiswa di era Orde Baru?
Harapan itu tak sesuai kenyataan, mahasiswa diam, bungkam seribu bahasa. Fungsi mahasiswa sebagai agent of change sepertinya telah berubah jadi agent of regime. Sebagai senior kita tentu merasa kecewa, merasa telah gagal mendidik adik-adik. Adik-adik kita sudah lama tidur pulas.
Namun tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara lantang dari Jawa Timur, bumi kandung Indonesia. Yaitu suara dari Ketua PMII Jatim, yang dengan heroik tegas menolak kembalinya dwifungsi militer, bahkan saat Ketua Umum Pengurus Besarnya belum bersikap.
Semoga teriakan lantang ini akan menjadi sejarah kebangkitan kekuatan sipil terutama mahasiswa untuk segera kembali berfungsi melawan multi fungsi militer. Kalau bukan mahasiswa lantas siapa? Kalau bukan sekarang lantas kapan?
Karena teriakan ini sepertinya akan menjadi teriakan bersejarah, maka kita sebut saja "Teriakan Baijuri", karena Ketua PMII Jatim yang berteriak itu bernama Baijuri. Kalau teriakan Baijuri ini segera disambut oleh seluruh elemen mahasiswa lainnya maka musim semi gerakan mahasiswa telah tiba. Dan itulah yang selama ini kita tunggu-tunggu.
Ditulis pada malam peringatan Nuzulul Qur'an di dalam Kereta Api Jayabaya dalam perjalanan pulang ke Surabaya dari acara Buka Puasa Bersama PB IKA PMII di Jakarta.