telusur.co.id -Oleh: Nariza Riskantia Haya, Politeknik Negeri Jakarta.
“Ohok ohok...,” asap mengepul di udara, di samping wanita tua seorang pria terus mengeluarkan asap dari mulutnya.
Di halaman rumah semi permanen dengan atap terbuka, berkumpul orang-orang yang sedang bercengkerama. Ibu-ibu dengan kipas lipat di tangannya, Bapak-bapak dengan rokok di sela-sela jarinya, anak remaja yang sedang bermain ponsel di samping pintu, dan bayi yang sedang menangis di pangkuan Ibunya.
Sekilas pemandangan ini seperti perkumpulan orang dengan kesibukan masing-masing. Ibu yang kepanasan, Bapak yang mengisi amunisi, Kakak yang fokus menang dan Adik kecil meminta perhatian. Semua aktif dan terlihat nyaman, namun ada alasan lain yang sebenarnya tidak senyaman itu.
Di ujung teras Kakek sedang merokok di depan anak kecil. Ia melakukannya dengan leluasa dan raut tanpa bersalah. Ketika dilihat dengan jelas, anak kecil itu terlihat tidak nyaman dengan asap yang keluar dari mulut Kakek.
“Bah, nyebat di mana?,”.
“Itu noh di dalem lemari,”.
“Buset rokok abis berape Bah?,”.
“Ssstt... diem aje lu entar orang rumah marah,”.
Mungkin Kakek tidak tahu, kalau saya sedang melihat apa yang sedang ia lakukan. Pakaiannya sedikit lusuh, badan yang sudah tidak bugar, dan berjalan tertatih-tatih ke sana ke mari. Akan tetapi, rokok selalu penuh dikantongnya.
Dengan kejadian ini, saya memiliki banyak pertanyaan. Beberapa pertanyaan utamanya seperti, kenapa rokok selalu menyala di saat kumpul keluarga?. Apakah tidak bisa dimatikan sejenak sampai setidaknya anak kecil tidur atau pun bermain jauh dari perokok?. Atau apa tidak bisa merokok lebih jauh dari anak kecil?.
Kasihannya anak kecil
Saya jadi ingat dengan kejadian serupa. Kejadian ini ada dilingkungan keluarga saya. Om saya memang perokok aktif. Sebelum punya anak dan sesudah pun ia kerap masih melakukannya. Walaupun dilakukan di depan pintu, tetapi asap abu putih itu tetap masuk ke kamar.
“Ayah ini asepnya masuk kamar, sana keluar, Adam Aydan lagi tidur juga,” ujar Ratyan, tante saya dengan nada tinggi.
“Ah elah ribet, orang anginnya ke sana,” jawab Anto sambil menunjuk keluar rumah.
Dari percakapan mereka saya jadi sadar, jika semua orang berhak untuk memiliki pilihannya sendiri. Namun, semua orang tidak bisa melihat dampak yang dihasilkan dari pilihannya. Hal mudahnya adalah kalau mereka saling paham, seharusnya tidak ada percakapan atau situasi seperti ini.
Seseorang memang boleh merokok, dan boleh tidak merokok. Meski demikian, mereka seharusnya tahu di mana tempat yang diperbolehkan. Hal seperti itu semestinya dilakukan bersamaan dengan kesadaran dan etika perokok.
Rokok sudah dikenal lama berbahaya dan begitu juga dengan asapnya. Walaupun hanya sebuah asap, tetapi asap rokok ikut terkandung nikotin. Bahaya asap rokok bukan hanya asumsi, namun ada kenyataan jelasnya.
“Ada sodara Gue juga dulu masih kecil sampe kritis karena ya itu kena asap rokok orang tuanya,” ujar Putra.
Cerita Putra terasa lebih menyakitkan daripada sekedar rasa tidak nyaman. Sebagai orang tua, semestinya mereka menginginkan anak yang sehat. Orang tua yang seharusnya melindungi anak. Namun malah sebaliknya, anak menjadi korban karena kelalaian orang tua, sehingga dalam kasus ini peran orang tua perlu dipertanyakan.
“Kalo ngerokok di depan anak kecil itu bahaya banget,” sambung Putra.
Berkendara sambil mengisi amunisi
Merokok di depan anak kecil sudah berbahaya. Bahkan ada yang lebih berbahaya, yaitu merokok saat sedang berkendara. Sebagian orang pernah melihat pengendara yang sedang mengemudi dan terselip gulungan kertas dijarinya. Diujung kertas terdapat bakaran dan mengeluarkan asap dengan aroma khas.
Kadang kala, pengendara masih sempat mematik abu rokok di jalan. Bukan dengan menepi ke pinggir jalan, tetapi jalan pelan dan menurunkan tangan kirinya untuk membuang abu rokok. Dengan melakukan hal ini, mungkin dianggap tidak akan mengenai orang belakang. Tetapi, terkadang pikiran ini melesat.
“Kalo Gue ketemu orang yang ngeroko di jalan kesel ngeliatnya, karena kaya merugikan pengendara lain juga, terus abunya kalo kena mata kan perih,” ujar Putra.
“Biasanya kalo Gue suka marah kalo di jalan ngeliat orang ngeroko, karena kaya enggak ada tempat lain aja gitu selain bawa kendaraan sambil ngeroko,” sambungnya.
Bukan hanya Putra yang kesal dengan kelakuan pengendara nakal. Nur turut menyayangkan sikap pengendara yang sembarangan menyalakan dan membuang abu rokok di jalan.
“Dia naik mobil posisinya lagi di jalan raya, terus kaca mobilnya dia buka dan dia asyik nyetir mobil sambil ngerokok. Pengemudi itu enggak mikir gimana kalo abunya terbang dan kena pengendara motor di belakangnya,” ujar Nur.
Hal ini memang sangat mengganggu orang lain. Merokok di jalan pun turut melanggar etika dalam berkendara. Aturan merokok saat berkendara sudah diatur dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009.
“Jujur aku paling enggak suka banget sama pengendara yang bawa kendaraan sambil merokok, jelas banget kalo itu melanggar etika berkendara karna bikin pengendara lain enggak nyaman,” ujar Nur.
Pesan dari korban
Nur dan Putra menjadi saksi dari sekian banyak orang yang mengalami hal serupa. Kecerobohan, egois, dan tidak merasa bersalah dari para perokok seharusnya perlu ditegaskan. Merokok memang asyik dan menenangkan hati, tetapi tidak berlaku untuk orang yang hidup sehat dan peduli dengan sekitarnya.
“Coba lain kali kalo mau ngerokok pikirin orang di sekitar, kalian jangan egois mikirin diri sendiri,” ujar Nur.
“Kalo bisa jangan ngeroko sambil bawa kendaraan dong, kan udah ada undang-undangnya juga, jangan mau enak sendiri tapi ngerugiin orang lain,” ujar Putra.
Dalam kehidupan sehari-hari, semua perilaku dan sikap kita pastinya akan dilihat orang lain. Sebagian dari mereka mungkin memperhatikan seluruh gerak gerik yang kita lakukan. Etika bukan hanya sekedar sikap dan sifat seseorang, tetapi juga cara berpikir seseorang.
Orang yang merokok banyak, orang yang sakit karena rokok juga banyak. Sementara itu, perokok yang tahu kapan harus menyalakan dan mematikan api jarang dijumpai. Ini bukanlah soal orang yang merokok selalu salah dimata orang, tetapi citra seorang perokok menjadi jelek akibat perokok lainnya.
Setiap tindakan kecil bisa menjadi besar jika dilakukan tanpa etika dan empati. Merokok mungkin pilihan, tetapi peduli dengan orang lain seharusnya menjadi kewajiban.