telusur.co.id - Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, mengusulkan agar tiga Polda di Indonesia dijadikan percontohan dalam penerapan restorative justice. Usulan ini disampaikan dalam rapat kerja Komisi III dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (11/11/2024), yang membahas realisasi anggaran dan pencapaian kinerja Polri pada 2024.

Hinca mengusulkan pembagian wilayah untuk penerapan restorative justice ke dalam tiga bagian: Timur, Tengah, dan Barat. Menurut Hinca, hal ini bertujuan untuk menciptakan solusi berbasis kearifan lokal dalam menyelesaikan perkara hukum dengan pendekatan yang lebih humanis dan dialogis.

Polda Jawa Timur Jadi Contoh di Wilayah Tengah

Untuk wilayah Tengah, Hinca mengusulkan Polda Jawa Timur (Jatim) sebagai percontohan. Pemilihan Jatim berdasarkan tingginya jumlah perkara yang terjadi di wilayah tersebut, termasuk kasus narkoba yang mencapai lebih dari 5.000 kasus pada 2022. Hinca juga mencatat bahwa pemerintah provinsi Jatim telah mengembangkan program restorative justice dengan inisiatif seperti "Rumah Restorative Justice Sekolah", yang dirasa sejalan dengan upaya kepolisian dalam menyelesaikan kasus melalui pendekatan yang lebih mendalam dan berbasis masyarakat.

Sulawesi Selatan dan Kearifan Lokal di Wilayah Timur

Untuk wilayah Timur, Hinca mendorong Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai percontohan. Sulsel dinilai memiliki potensi dalam memanfaatkan kearifan lokal dalam proses restorative justice. Hinca mengungkapkan, meski jumlah perkara di Sulsel cukup tinggi, provinsi ini dikenal dengan budaya yang mengedepankan penyelesaian masalah secara kekeluargaan dan kebatinan, yang diharapkan bisa memperkuat pelaksanaan restorative justice.

Sumut Sebagai Pelopor di Wilayah Barat

Di wilayah Barat, Hinca mengajukan Polda Sumatra Utara (Sumut) sebagai contoh. Sumut, khususnya di Kabupaten Simalungun, telah berhasil menerapkan restorative justice dengan efektif, yang terbukti dengan nol perkara di empat Polsek setempat berkat pendekatan dialog dan mediasi. Hinca menyebutkan, kolaborasi antara kepolisian, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat sangat krusial dalam mewujudkan penyelesaian perkara tanpa mengandalkan proses peradilan formal yang memakan waktu lama.

Kolaborasi antara Polri dan Pemerintah Daerah

Lebih lanjut, Hinca menjelaskan pentingnya kerjasama antara Polri dan pemerintah daerah dalam implementasi restorative justice. Ia mengibaratkan hal ini seperti pertanian, di mana Gubernur bertanggung jawab untuk "menyediakan benih" atau kebijakan yang mendukung, sementara Polri bertugas sebagai "petani" yang menumbuhkan dan mengarahkan penyelesaian perkara. Hinca menekankan bahwa restorative justice dapat mengurangi penumpukan perkara dan menghindarkan sistem peradilan dari ketidakadilan yang timbul akibat keterlambatan penyelesaian kasus.

"Dengan adanya rumah-rumah restorative justice di desa-desa, kita dapat membantu menyelesaikan perkara dengan lebih efisien dan tanpa memaksakan proses hukum yang berlarut-larut," tutup Hinca.

Inisiatif ini diharapkan dapat mengurangi beban peradilan, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, serta menciptakan solusi yang lebih adil dan manusiawi dalam penegakan hukum di Indonesia.[iis]