Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun turut mengomentari soal kasus pose 2 jari Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang dipersoalkan Bawaslu.
Refly menilai, ancaman pidana terhadap Anies itu terkesan berlebihan.
Refly menjelaskan, dalam pasal 547 UU Pemilu menyebutkan Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
“Terlalu berlebihan kalau ada kepala daerah mengacungkan jari lalu diancam hukuman 3 tahun penjara atau denda 36 jt. Sebab, pasal itu soal abuse of power, bukan abuse of gesture,” cuit Refly dalam akun Twitter-nya @ReflyHZ, Kamis (10/1/19).
“Pasal ini tentang larangan menyalahgunakan kekuasaan bagi pejabat negara, termasuk gubernur. Bukan melarang seorang punya preferensi politik?” tulisnya.
Oleh karena itu, tegas Refly, baik Anies Baswedan maupun Ridwan Kamil sah-sah saja memiliki preferensi politik dengan mengacungkan jari baik 01 maupun 02.
“Kalo cuma mengacungkan jari pun, tidak perlu cuti. Yang cuti itu kalau ikut kampanya yang mungkin akan meninggalkan tugasnya sebagai kepala daerah,” imbuhnya.
Dalam menafsirkan pasal ini, Refly meminta agar Bawaslu bersikap dan menerapkannya rasional dan proporsional.
“Yang jelas jelas dilarang menunjukkan preferensi politik dengan simbol jari karena harus netral itu antara lain ASN, baik PNS maupun PPPK (Pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja),” tandasnya.
Sebelumnya, Gubenur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan diperiksa oleh Bawaslu terkait pose jari dalam acara Konfrensi Nasional Partai Gerindra Senin (17/12/18) lalu. Anies diduga melakukan pelanggaran Pemilu.
Menurut Bawaslu, Anies terancam pidana penjara tiga tahun jika dugaan itu terbukti sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Bawaslu mengaitkan dengan pasal 547 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Adapun pasal 547 UU Pemilu tersebut berbunyi:
“Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). [ham]