Kemajuan Tekhnologi Dalam Pelaksanaan Beribadah, Sudut Padang Hukum HAM dan Toleransi Antar Umat Beragama - Telusur

Kemajuan Tekhnologi Dalam Pelaksanaan Beribadah, Sudut Padang Hukum HAM dan Toleransi Antar Umat Beragama

Ilustrasi. Foto: Ist

telusur.co.id -

Oleh : Agus Widjajanto 

Dalam tulisan tulisan yang lalu yang mengangkat tema, Bhineka Tunggal Ika, yang berkaitan dengan Tan Hana Dharma Mangrwa, telah dijelaskan bahwa negara ini didirikan oleh pendiri Bangsa , dari rasa semangat kebersamaan dalam suatu komunitas besar sebuah wilayah yang dinamakan negara, dari segala perbedaan baik berbeda secara agama, suku, bahasa, bahkan ras, untuk mencapai tujuan bersama sesuai cita cita proklamasi. 

Jaman semakin tahun semakin berubah dari milenial ke 5 hingga ke 14 Masehi, dari abad ke 14 Masehi menuju ke abad 18 Masehi, dari abad ke 18 Masehi menuju abad ke 20 Masehi hingga kini. Dimana dunia telah semakin maju secara teknologi transportasi, teknologi informasi, tekhnologi komunikasi, hingga tekhnologi alat utama sistem persenjataan untuk persiapan terjadinya gesekan antar negara (peperangan).

Kemajuan kemajuan tersebut berdampak pada kemajuan jaman, yang diikuti oleh perubahan pola hidup bermasyarakat termasuk yang seharus nya terjadi perubahan menyangkut tata cara menjalankan ibadah dalam beragama, yang tentu tidak bisa disamakan pada jaman modern ini dengan jaman pada awal abad ke 5 Masehi. 

Bahwa bangsa kita mempunyai sejarah yang panjang dari abad ke abad, dari masa ke masa, mengalami pasang surut kejayaan dan kejatuhan yang oleh para leluhur kita disebut masa siklus kejayaan (Tjakra Manggilingan, yaitu hitungan sesuai tahun naik turun nya kejayaan sebuah bangsa ) dan pernah mengalami masa masa suram terjadi perang agama terbesar pada abad ke 8 Masehi saat masa kejayaan Dinasti Mataram Hindu, dan juga pernah terjadi konflik ideologi pada masa tahun 1965. 

Yang tentu membuat kita makin dewasa dalam memandang sebuah kehidupan dalam kontek bermasyarakat dan bernegara, tapi dari dulu kala tetap terjadi kondisi kehidupan toleransi dalam menjalankan keyakinan dalam beragama , yang dulu pernah ditulis dalam kitab Sutasoma dari empu Tantular dan Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca dalam Imperium kejayaan Majapahit. 

Pada masa kini dalam tatanan toleransi antar umat beragama yang mungkin kurang mendapat suatu perhatian yang serius karena dianggap hal yang wajar , adalah menyangkut azdan menggunakan pengeras suara, yang menjangkau dalam radius beberapa ratus meter bahkan kilo , tergantung pengeras suara yang digunakan. 

Dalam masa Rosullullah , dulu suara azdan dikumandangkan oleh Bilal dengan suara yang sangat keras untuk memanggil para sahabat dan para tabiin saat itu , untuk memberitahu bahwa sudah saatnya waktu untuk sholat, dengan kondisi rumah rumah para sahabat dan sesudahnya para tabiin masih berjauhan , tapi tetap tidak sekeras suara azdan dengan menggunakan Sarana elektronik pengeras suara melalui spekers . Dalam kontek ini , dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia , bisa disampaikan bahwa : 

Dalam Al-Qur'an dan Hadits, tidak ada dalil yang secara khusus membahas penggunaan pengeras suara atau TOA untuk Adzan. Namun, terdapat beberapa prinsip yang dapat diambil sebagai pedoman terkait hal ini:

1. Prinsip Keterbukaan dan Penyebaran Ajaran Islam. Al-Qur'an menekankan pentingnya menyebarkan ajaran Islam dan memanggil umat untuk shalat. Adzan sendiri merupakan panggilan yang disebarkan agar umat Islam dapat berkumpul untuk melakukan ibadah.

2. *Penghormatan terhadap Ketetanggaan dan Kehidupan Bersama:* Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga dan menghormati hak-hak mereka. Dalam konteks penggunaan pengeras suara atau TOA untuk Adzan, penting untuk memperhatikan kenyamanan dan kebutuhan tetangga sekitar.

3. Penyesuaian dengan Kemajuan Teknologi: Meskipun tidak ada dalil yang secara spesifik mengatur penggunaan teknologi seperti pengeras suara atau TOA untuk Adzan, prinsip kesesuaian dengan perkembangan zaman diambil dalam menyesuaikan cara menyampaikan panggilan shalat dengan menggunakan sarana-sarana teknologi yang tersedia.

Dengan demikian, sementara Al-Qur'an dan Hadits tidak memberikan petunjuk langsung tentang penggunaan TOA atau pengeras suara untuk Adzan, prinsip-prinsip umum dalam Islam seperti penyebaran ajaran agama, penghormatan terhadap tetangga, dan penyesuaian dengan kemajuan teknologi dapat menjadi pedoman dalam menentukan penggunaan yang tepat dan etis dari sarana-sarana tersebut.

Penggunaan pengeras suara dalam shalat lima waktu begitu juga dalam shalat taraweh tidak dianjurkan, Melainkan sekedar di dengarkan orang yang berada dalam masjid tanpa mengeraskan suara ke luar agar tidak mengganggu masjid lainnya dan orang-orang yang berada di dalam rumah serta mempunyai uzur, seperti orang sakit atau lainnya.

Syeikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak diperkenankan seorang pun mengerasakan bacaan yang dapat mengganggu jamaah shalat lainnya.” [Majmu Fatawa, 23/61].

Kedua : Adapun iqamah shalat, sunah yang shahih menunjukkan bahwa pada zaman Nabi sallallahu alaihi wa sallam terdengar hingga orang yang berada di luar masjid. Terdapat penjelasan dalil akan hal itu dimana Kami telah sebutkan di dalamnya perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa iqamah shalat adalah untuk orang yang hadir dalam masjid begitu juga untuk orang yang tidak hadir seperti adzan. 

Maka, kalau yang dimaksud larangan ‘Iqamah shalat’ dengan pengeras suara adalah ‘shalat itu sendiri’, maka keputusan ini benar. Meskipun kita ingatkan kepada pihak yang bertanggungjawab agar larangaan ini tidak khusus kepada pembaca Qur’an dan shalat saja, sedangkan orang-orang  jalanan, fasik dan porno dibiarkan mempromosikan kefasikan dan kegilaannya di hadapan orang-orang tanpa ada larangan yang membuat mereka jera.

Dengan kondisi saat ini, dimana jumlah penduduk di pulau Jawa dan kota kota besar di Indonesia, hampir 270 juta jiwa, dengan tanah makin terbatas baik perkotaan dan daerah yang sudah sangat padat dengan kondisi rumah rumah penduduk yang sangat berdekatan, tentu suara speaker masjid saat digunakan mengumandangkan azdan pada setiap shalat fardhu (wajib) serta saat taraweh dan tadarus, berpotensi mengganggu dan membuat tidak nyaman bagi lingkungan dalam wilayah tertentu. 

Apalagi di daerah yang penduduknya kebetulan beragam dalam memeluk agama, ada moeslem, ada Hindu, ada Bhudda, ada Konghucu, hal ini yang harus jadi perhatian Negara yaitu pemerintah yang dinaungi oleh Departemen Agama yang telah menerbitkan surat edaran nomor 5 tahun 2022 tentang penggunaan speakers agar tidak mengganggu lingkungan tempat tinggal bagi penduduk yang beragama lain.

Namun kenyataannya, surat edaran tersebut tidak pernah di taati oleh masyarakat, hingga keluhan dan keluhan terpendam dari saudara-saudara kita yang umat beragama lain atau bahkan sesama moeslim yang keluarganya sedang sedang sakit. Mereka tidak berani secara terbuka untuk menghindari masalah yang tidak diinginkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik jadi masalah SARA, dalam mengumandangkan adzan dalam volume tertentu dalam wilayah yang beragam para penduduk nya dalam memeluk agama. 

Sesama-saudara sebangsa yang mayoritas tentu harus bisa memberikan contoh, serta suri tauladan, Handarbeni : memberikan contoh yang baik, Hangayomi : bisa memberikan pengayoman yang mayoritas memberikan perlindungan dan pengayoman kepada minoritas dalam toleransi , antar umat beragama. 

Hal ini sudah tertulis dalam sila pertama dari Pancasila , yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, yang punya makna dan arti melindungi seluruh tumpah darah dan warga negara Indonesia dalam menjalankan ibadahnya sebagai hak yang paling asasi, namun harus juga ada kewajiban untuk menghargai atas umat beragama lain, yang telah diatur oleh dasar Negara senagai falsafah dan pandangan hidup bangsa serta Kontitusi kita.

Dengan hidup penuh harmonisasi, saling menghargai saling mengayomi dalam naungan negara dan bangsa serta tanah tumpah darah yang sama, untuk mencapai cita cita bersama Toto tenteram Kerto Raharjo, Gemah Ripah loh jinawi, Adil Makmur secara bersama, sebagai sebuah bangsa. 

Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa.  

 

Penulis adalah praktisi hukum di Jakarta

Pemerhati sosial budaya dan sejarah bangsa


Tinggalkan Komentar