telusur.co.id - Pengelolaan lingkungan hidup (SDA) untuk dan atas nama pembangunan, serta untuk dan atas nama peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) telah menyebabkan pengelolaan lingkungan hidup cenderung hanya berorientasi kepada aspek ekonomi (keuntungan/laba) semata, sehingga aspek kepentingan manusia (masyarakat) dan aspek kepentingan lingkungan hidup seringkali terabaikan. Bahkan kewajiban AMDAL-pun tidak jarang diabaikan.
Padahal UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah mengatur sedemikian rupa aturan main dalam pengelolaan lingkungan hidup. Nampaknya implementasi UUPPLH 2009 ini belum efektif, sehingga kerusakan lingkungan hidup terus terjadi, dan pada akhirnya mengganggu keseimbangan lingkungan hidup itu ssendiri.
Sejatinya pengelolaan lingkungan hidup (SDA) seperti usaha pertambangan dan minerba, minyak dan gas, dan lain-lain itu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, tetapi faktanya pengelolaan SDA seringkali justru menciptakan penderitaan bagi rakyat termasuk masyarakat adat. Apapun alasannya, pengelolaan SDA telah menciptakan kerusakan dan penderitaan rakyat. Salah satu contoh, perkebunan besar kelapa sawit dan HPH telah membuat masyarakat adat terusir dari wilayah dan hutan ulayatnya. Padahal masyarakat adat dengan kearifan lokalnya selalu menjaga kelestarian alam.
“Sudah saatnya Negara dan Pemerintah mengadopsi hukum adat dan kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat, dalam kaitannya dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia atau APHA Indonesia, Prof. Dr Laksanto Utomo, Rabu (17/1/2024).
Sebab masyarakat adat dan kearifan lokalnya sambung Laksanto, selama ini berada di garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidupnya. Jika Negara dan Pemerintah terlalu berorientasi kepada hukum positif dan mengabaikan hukum adat dan kearifan lokal terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup jelas sebuah kekeliruan besar dan harus dikoreksi. Ini urgen dilakukan demi menjaga kelestarian, kesinambungan dan keseimbangan lingkungan hidup untuk kepentingan generasi yang akan datang.
“Kerusakan lingkungan hidup harus segera dihentikan dan tidak ada toleransi bagi perusak dan pencemar lingkungan hidup. Oleh sebab itu, semua pihak yang tidak concern dan tidak menjadikan permasalahan lingkungan hidup sebagai prioritas nasional tidak layak hidup dibumi Indonesia,” bebernya.
Dalam kaitannya dengan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sejatinya muatan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut menjadi landasan konstitusional bagi pembentukan UU yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, seperti UUPA, UU Pertambangan dan Minerba, UU Pertanahan, UU Kehutanan, UU Investasi dan sejenisnya, selain berlandaskan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Oleh sebab itu, sinkroniasi muatan UU dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan SDA dengan hukum adat dan kearifan lokal yang berkaitan dengan lingkungan hidup adalah sebuah keniscayaan.
Negara dan pemerintah harus peka dan sadar bahwa kerusakan lingkungan hidup dari hari ke hari makin parah, sehingga makin mengancam kehidupan setiap warga negara Indonesia termasuk masyarakat adat. Sebab tingkat kerusakan alam berakibat pada meningkatnya risiko terjadi bencana alam. Bencana seperti banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor dan lain sebagainya adalah buah dari buruknya perilaku perorangan, kelompok orang dan korporasi yang mengelola SDA (profit oriented), serta tidak optimalnya tata kelola dalam pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup oleh Pemerintah.
“Pengelolaan SDA adalah sebuah keniscayaan dalam pembangunan demi mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUU NRI Tahun 1945. Tetapi Negara dan Pemerintah berkewajiban menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma hukum adat dan kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” tegasnya.
Laksanto berharap, tidak boleh terjadi lagi, pengelolaan SDA terus berlanjut. Ironinya masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Negara ini milik seluruh Warga Negara Indonesia, bukan milik sekelompok orang atau pejabat negara.
‘Oleh sebab itu, APHA Indonesia sebuah organisasi yang beranggotakan para pengajar, peneliti dan praktisi yang peduli terhadap keberadaan dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan garda terdepan sebagai penjaga dan penyeimbang lingkungan, mendesak kepada masyarakat Indonesia yang berpartisipasi dalam pesta demokrasi di Indonesia tahun 2024 untuk memberikan hak pilihnya kepada calon presiden dan calon parlemen yang memiliki komitmen terhadap lingkungan dan eksistensi Masyarakat Hukum Adat.
“Mendesak kepada siapapun yang menjadi Presiden Terpilih dalam Pemilihan Presiden 2024, untuk sungguh-sungguh memosisikan hukum adat dan kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai sumber hukum nasional dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (SDA),” pintanya.
Selain itu APHA mendesak siapapun yang menjadi presiden terpilih untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi UU Masyarakat Adat.
Tak hanya itu, mendesak siapapun yang menjadi presiden terpilih untuk serius menghentikan segala bentuk kriminalisasi, terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan dan/atau mempertahankan hak ulayat dan hak tradisionalnya.
“Meminta kepada siapapun yang menjadi presiden terpilih untuk sungguh-sungguh berkomitmen, memperhatikan asas kearifan lokal dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tambahnya.
Meminta kepada siapapun yang menjadi Presiden Terpilih untuk berkomitmen tinggi dan menindak-tegas para perusak lingkungan hidup baik orang perseorangan maupun korporasi.
Meminta kepada siapapun yang menjadi Presiden Terpilih untuk melakukan moratorium izin konsesi, HPH, dan perkebunan besar di kawasan hutan terutama yang dekat dengan komunitas masyarakat adat dan pemukiman masyarakat pada umumnya.
“Kami mendesak dan meminta agar Presiden Terpilih memasukkan 6 poin pernyataan sikap tersebut sebagai Agenda / Program Prioritas 100 Hari, terhitung sejak Presien Terpilih mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI,” pungkasnya.(fie)