Oleh : Agus Wijayanto SH. MH
Praktisi Hukum dan Pemerhati Sejarah.
BERBICARA membangun karakter anak bangsa melalui ajaran luhur para pendiri bangsa tidak bisa dipisahkan dari Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai dasar negara, filosofi serta pandangan hidup. Sementara UUD 1945 sebagai hukum dasar terkodifikasi tertulis dari konstitusi.
Pancasila dan UUD 1945 merupakan satu kesatuan tunggal (dwi tunggal) yang mempunyai hubungan integral dan saling berkaitan. Keduanya seperti halnya dua sisi mata uang yang merupakan pondasi dan soko guru sebuah rancang bangun dari berdirinya negara ini.
Setelah ditetapkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai dasar negara, Pancasila memiliki kedudukan penting dalam tatanan kehidupan bangsa. Karena maha pentingnya kedudukan Pancasila kemudian memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia untuk menjadikannya rujukan mutlak bagi tatanan kehidupan.
Baik dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat, politik, beragama maupun dalam bidang hukum. Dalam tatanan hukum kedudukan, Pancasila dipertegas sebagai sumber tertib hukum atau dikenal dengan sebutan sumber dari segala sumber hukum melalui ketetapan MPR No XX/MPRS/1966 junto ketetapan MPR No V/MPR/2973 junto ketetapan MPR No IX/MPR/1978.
Dalam perkembangannya, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum ditentukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Ketika Orde Baru saat Presiden Soeharto berkuasa, Pancasila menjadi dogma statis karena dikultuskan menerapkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Stabilitas nasional mendapatkan pengakuan. Baik dari segi pertahanan, keamanan, sosial kemasyarakatan hingga kehidupan beragama. Pancasila didudukkan sebagai Dasar Negara ibarat pondasi gedung mercusuar. Sementara UUD 1945 sebagai tiang utama atau Soko Guru dari bangunan tersebut yang bersifat dwi tunggal.
Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling mengisi dan mempunyai hubungan integral satu sama lain yang memang sejak awal dibuat dan diciptakan para pendiri bangsa, sebagai filosofi hidup dan dogma dalam berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari itu semua, memang ada kekurangan dalam masa pemerintahan Orde Baru. Dimana Pancasila dijadikan alat legitimasi yang sahih bagi kekuasaan. Terkait hal ini, Mahmud MD pernah menuliskan bahwa pengkultusan Pancasila merupakan puncak penggalangan yang dilakukan secara terus-menerus sejak tahun 1966/1967 dalam rangka integrasi nasional.
Hal itu sebagaimana diputuskan dalam Seminar II Angkatan Darat tahun 1966 yang menghasilkan mandat akan membayar berapapun untuk terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa serta menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat untuk membangun bangsa. Pemikiran ini sangat wajar menurut penulis untuk melakukan penggalangan dalam suatu masyarakat yang pluralisme seperti Indonesia, setelah melihat situasi dan kondisi pada masa reformasi saat ini.
Pada masa reformasi, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dilegitimasi melalui TAP MPR No III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundangan. Dalam TAP MPR ini tidak lagi ditegaskan secara eksplisit tentang Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam Sistem Hukum Nasional .
Jadi walaupun Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum memiliki legitimasi yuridis, baik melalui TAP MPR maupun Undang Undang. Akan tetapi tidak memberikan jaminan kepastian hukum dalam tata urutan peraturan perundang undangan. Hal itu berakibat Pancasila tidak lagi mempunyai sifat daya mengikat dalam herarki perundang undangan.
Hal inilah yang menjadi persoalan yang harus dikembalikan lagi kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Termasuk dalam herarki perundang-undangan, karena kalau tidak akan timbul disharmonisasi antar peraturan perundang-undangan.
Presiden Kedua Republik Indonesia, Jendral Besar Soeharto, memandang bahwa Pancasila sejatinya digali dan diciptakan dari nilai-nilai luhur ajaran para leluhur seperti yang terdapat dalam aksara Jawa yang lahir pada satu saja, yaitu dalam huruf Honocoroko.
Aksara Jawa tidak sekedar digunakan media menulis oleh orang Jawa pada jaman dulu, akan tetapi Aksara Jawa juga sebagai media untuk bisa memahami konsep ketuhanan. Karena pada setiap abjad aksara Jawa mempunyai makna yang berkaitan dengan konsep ketuhanan, dimana terdapat tiga unsur yaitu Tuhan, manusia dan kewajiban manusia sebagai mahluk hamba yang diciptakan.
Huruf Ha misalnya, diartikan Hurip atau Urip yaitu hidup. Sifat Dzat Yang Maha Esa atau Tuhan. Huruf NA adalah Hana artinya ada yaitu adanya kita manusia dan adanya alam semesta. Huruf Caraka artinya utusan dari kata Ca yang merupakan cipta, pikir, nalar atau akal. Huruf Ra adalah rasa budi, olah rasa dan Huruf Ka adalah kehendak atau karsa yang merupakan kehendak dari yang Maha Esa atas kehidupan manusia bagian dari Alam semesta .
Dengan memahami konsep Aksara Jawa Honocoroko, kita bisa menjadi manusia berbudi luhur dan memahami bagaimana awal mula kehidupan manusia dari mana (Sangkan Paraning Dumadi). Lalu setelah dilahirkan di dunia harus bagaimana berikut setelah tiada manusia mau kemana?
Dengan memahami diri maka bisa tahu jati diri kita. Dengan demikian, kita bisa memahami bagian dari alam semesta diluar diri umat manusia. Dan itu semua harus harmonis sebagaimana nilai-nilai dari Pancasila yang diaktualkan melalui Eka Prasetya Panca Karsa.
Konsep Pancasila dari Pak Harto pun sama, menggali dari ajaran luhur para leluhur bangsa ini sebelum lahirnya Indonesia Merdeka. Bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan berbudaya adiluhung. Hal inila yang harus dimengerti generasi muda, bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sangat beradab dan berketuhanan. Bukan negara agama, tapi negara yang melindungi segenap tumpah darah rakyatnya terhadap agama yang dipeluk masyarakatnya.
Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa.