Laksanto Utomo Pimpin APHA Indonesia, Idealisme Demi Masyarakat Adat - Telusur

Laksanto Utomo Pimpin APHA Indonesia, Idealisme Demi Masyarakat Adat

Ketua Umum APHA Indonesia Laksanto Utomo (Foto : IST)

telusur.co.id -Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, atau APHA Indonesia menjadi salah satu garda terdepan, dari idealisme para akademisi dosen hukum adat, agar masyarakat adat hidup damai tanpa terganggu hak-haknya oleh investor yang  mencoba mengambil hak masyarakat adat yang berujung konflik.

Sepak terjang APHA Indonesia memberikan pendampingan terhadap masyarakat hukum adat, baik langsung terjun ke masyarakat adat yang teriris haknya, juga melobi para pemangku jabatan baik di eksekutif dan legislatif.

Langkah tersebut tidak terlepas dari peran Ketua Umum APHA Indonesia Laksanto Utomo.  Dimana sejak tahun 2016 hingga sekarang ia selalu berfikir melindungi masyarakat adat sebagai warisan bangsa

Sebelum ditunjuk ditunjuk sebagai Ketua Umum APHA Indonesia, Laksanto Utomo melakukan gebrakan yang cukup mendapatkan perhatian dunia hukum di Indonesia, dengan melakukan eksaminasi kasus Sudjiono Timan. Dimana sebelumnya Mahkamah Agung menerima PK Sujino diterima meski yang mengajukan pihak keluarga, bukan Sujiono.

Diketahui Sudjiono telah merugikan negara 600-700 miliar Rupiah.

Saat memimpin APHA Indonesia, Laksanto berperan aktif bersama tim, guna mendesak DPR RI meloloskan Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat atau RUU MHA menjadi undang-undang. Pasalnya, RUU MHA yang belasan tahun mengendap di DPR, dapat menjadi payung hukum melindungi masyarakat adat melestarikan wilayah serta menjaga hak-hak adat.

“Kita memperjuangkan RUU masyarakat hukum adat karena jika tidak segera dipercepat terjadi perselisihan dengan investasi,” tegas Laksanto, saat berbincang beberapa waktu lalu, di Kantor APHA, Jakarta Selatan.

Laksanto dengan gaya ceplas ceplos  berfikir pemerintah banyak tidak memberikan kesempatan masyarakat hukum adat, itu terlihat mendegradasi. Sepertinya kata Laks, masyarakat yang mempunyai negara ini, di marginalkan . Pemerintah juga mengingkari bahwa hukum adat itu juga living law , kehidupan yang tidak harus diperjanjikan suratnya.

“Inikan aneh pemerintah dengan hukum positif kemudian legalistik positif  dengan surat formil dinyatakan pemilik. Loh masyarakat hukum adat itu buta huruf dahulu, tidak punya kertas dimintai . Kayak rempang akan terjadi Jambi Ternate. Bekas penelitan saya, bahwa masyarakat itu tidak punya formalitas jadi kalau sekarang BPN menanyakan mana bukti kepemilikannya, bukti kepemilikannya mereka pernah tinggal disitu beberapa tahun dbuktikan dengan adanya makam ada monumen lain bentuknya rumah tinggal lama, ya cuma itu yang bisa ditunjukan,” jelasnya.

Jadi kalau pemerimtah sambungnya, meminta menunjukan dipastikan suratnya tidak ada. Cara berfikir pemerintah salah. Masyarakat hukum adat  dengan suatu kesederhanaan mestimya dijunjung tinggi. Dan harusnya mereka mendapatkan hak-haknya supaya kasus kasus seperti Rempang dan beberapa perkara apalagi dengan alasan investasi pada akhirnya mengesampingkan hak- hak masyarakat adat.

“Harapan kedepan harusnya pemerintah melihat perspektif lain. Artimya perspektifnya jangan cuma kesejahteraan ekonomi dan investasi saja,” tegasnya.

Kehidupan msyarakat adat serta kebiasaanya, merupakan warisan kedepan untuk anak cucu kita.

“Sebetulnya yang berpendidik peduli. Setiap saya mengajar selalu meminta kepada mahasiwa mahasiswi melihat permasalahan pada hati nurani. Saya memberikan pengertian mendasar bahwa ini merupakan salah satu warisan hukum adat. Ini bukan hukum yang ketinggalan, tapi ini adalah living law dari masyarakat kita,” tutur Sekjen Asosiasi Profesi Hukum di Indonesia.

Ia pun sekarang senang melihat dosen-dosen muda mulai peduli mengajar hukum adat.(fie)


Tinggalkan Komentar